REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lajnah Falakiyah PBNU Ghozali Masruri mengatakan pihaknya belum bisa memastikan secara pasti hari perayaan Idul Adha. Namun berdasarkan metode hisab, pelaksanaannya kemungkinan besar terjadi pada Senin, 12 September 2016.
Ia menjelaskan NU sebenarnya telah menggunakan metode Hisab sejak tahun 1926. Menurutnya, hisab hanya bersifat prediktif. Sehingga diperlukan rukyat atau observasi langsung guna memastikannya. Apalagi menurutnya, banyak Hadits Rasul yang menyarankan pentingnya rukyat.
"Harus diingat, NU anggap hisab itu prediktif, tapi kesahihannya harus dibuktikan secara ilmiah. Sahih atau tidaknya harus melalui observasi di lapangan yang disebut rukyat, sesuai perintah Rasul yang tercantum dalam setidaknya 20 hadits," katanya kepada republika.co.id, Rabu (31/8).
NU akan mengadakan rukyat pada Kamis (1/9) petang bersamaan dengan yang juga dilakukan Kemenag. Nantinya hasil rukyat itu akan dijadikan pegangan sikap NU dalam penetapan hari raya Idul Adha di sidang Itsbat. Setidaknya ada 100 titik pemantauan rukyat yang dimiliki NU di seluruh Indonesia.
"NU akan mengadakan rukyat lebih dulu besok petang (kamis) di seluruh Indonesia, setelah rukyat habis Magrib, laporan kita kumpulkan untuk disimpulkan. Jadi NU ikut sidang Itsbat, hasil rukyat kita bakal disampaikan disitu," ujarnya.
Sementara itu, mengenai potensi perbedaan Idul Adha dengan Arab Saudi, menurutnya tak masalah. Sebab, berdasarkan dalil yang ada, perbedaan diperbolehkan sebagai bentuk toleransi.
"Ya ada dasarnya enggak ada masalah kalau beda dengan Arab. Karena menurut NU dan Kemenag, rukyat yang berlaku adalah rukyat nasional (dalam negeri). Jadi kalau misal terjadi perbedaan bukan jadi masalah," jelasnya.