Rabu 31 Aug 2016 01:27 WIB

Semangat Muslim Bali Mengkaji Alquran

Rep: ahmad baraas/ Red: Damanhuri Zuhri
 Sejumlah umat Muslim belajar Alquran (ilustrasi)
Foto: dokrep
Sejumlah umat Muslim belajar Alquran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR - Semangat Muslim Bali untuk mengaji dan belajar membaca Alquran, dikarenakan rasa malu atau jengah. Ketua MUI Kota Depasar, H Saefuddin mengemukakan hal itu kepada Republika, di Denpasar, Selasa (30/8).

Dikatakannya, selain muslim yang sudah secara turun temurun tinggal di Bali, orang Islam yang kini tinggal di Bali adalah juga berasal dari luar Bali yang datang untuk mencari nafkah. Sebagian besar dari mereka berhasil secara ekonomi dan kemudian menunaikan iadah haji, selain juga aktif menjadi pegurus masjid atau perkumpulan warga.

"Dari kampungnya mereka kan banyak yang tidak belajar agama secara sungguh-sungguh dan di Bali kemudian jadi takmir masjid. Mereka merasa malu kalau tidak bisa agama, apalagi tidak bisa membaca Alquran," kata Saefuddin.

Hal itu sebutnya, yang mendorong orang-orang Islam yang belakangan datang ke Bali untuk bangkit dan belajar agama. Jadi, sebut PNS di Kemenag Provinsi Bali itu, kebanakan Muslim Bali yang sekarang ini, belajar agama di Pulau Bali.

Setelah mereka berada di Bali, ungkap Saefuddin, semangat itu tumbuh, dan mereka yang menghidupkan kegiatan-kegiatan kuliah subuh di masjid-masjid. Mereka, kata Saefuddin, menganggap belajar agama, sebagai suatu keperluan, begitu juga belajar membaca Alquran. "Mereka bukan hanya mengaji, tapi sudah sampai tingkat mengkaji kandungan Alquran," katanya.

Secara terpisah, salah seorang warga Denpasar asal Bangkalan, Madura Jawa Timur, H Pasri Al Gufron mengakui semangatnya mendalami agama, tumbuh setelah bertahun-tahun tinggal di Bali. Dia mengaku tidak ingin menghabiskan waktunya di Bali hanya untuk mencari penghidupan, tetapi juga harus mengisi kekosongan spiritual.

Termasuk, kata Pasri, dia mulai dan sejumlah temannya semakin giat belajar membaca dan menerjemahkan Alquran. Ketika masih di kampung, ungkap Pasri, dia tidak begitu serius belajar agama, karena menganggap di kampung sudah banyak yang mengerti agama dan bisa dijadikan rujukan bila menghadapi masalah agama.

"Tapi kalau di perantauan, kita harus bisa menyelesaikan sendiri masalah-masalah agama yang dihadapi, karena problemanya berbeda dengan daerah asal. Makanya kami merasa perlu mengaji, termasuk belajar aqidah dan fiqih," ungkap Pasri menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement