REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kementerian Agama memilih madrasah berasrama dibandingkan full day school yang diusulkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah seharian penuh dinilai masih berupa wacana dan harus didalami lagi mengenai ke khasan setiap daerah khususnya daerah perkotaan, perbatasan dan kepulauan.
"Masing-masing daerah itu punya kekhasan apalagi daerah dengan kantong-kantong santri. Pemda punya alokasi APBD untuk bantuan guru madrasah diniyah. Sehingga jika kebijakan tersebut diresmikan pasti ada jalan keluar," jelas Direktur Pendidikan Madrasah Nur Kholis Setiawan di Kantor Kemenag, Jakarta, Jumat (19/8).
Nantinya, menurut dia, tidak mungkin kebijakan full day school akan mematikan madrasah diniyah atau TPQ. Nur Kholis lebih lanjut menjelaskan, kebijakan sekolah seharian dapat bersinergi. "Kami memiliki pengalaman misalnya di Jawa Timur usulan pendirian asrama untuk madrasah negeri, tetapi lebih baik bersinergi dengan pesantren terdekat madrasah," jelas dia.
Dengan demikian, siswa dapat bersekolah formal di madrasah dan sorenya dapat tinggal di pesantren dan mendalami agama. Dia menjelaskan, hal tersebut cocok dilakukan di daerah yang memiliki kantong-kantong pesantren. Menurut dia, madrasah berasrama lebih cocok diterapkan di perkotaan, daerah perbatasan dan kepualauan seperti DKI Jakarta. Karena siswa pulang sekolah pukul 14.00 WIB sementara orang tua bekerja hingga pukul 20.00 WIB, khawatir anak pulang justru tidak melakukan kegiatan positif maka asrama menjadi solutif.
Di wilayah Kepulauan, Labuan Bajo misalnya, anak-anak sekolah menyebrang pulau menggunakan sampan. Jika anak tidak diasramakan khawatir tidak sampai sekolah malah pergi bermain atau memancing. Daerah perbatasan pun bisa menjadi prioritas madrasah berasrama seperti di Natuna dan Nunukan.