Kamis 18 Aug 2016 10:08 WIB

Beda Kampung, Beda Apartemen, Cari Nasi di Bawah Bendera Revolusi

Suasana Kampung Babakan Sari, Leles, Kab Garut, Jawa Barat. (Yogi Ardhi/Republika)
Foto:
Pedagang bendera di Jalan Lenteng Agung Raya, Jakarta Selatan (1/8). (Republika/Raisan Al Farisi)

lDi kampung-kampung perayaan Agustusan itu selalu ditunggu-tunggu. Bukan hanya Merah Putih yang berkibar di depan rumah. Tapi bendera-bendera kecil pun berderet terbentang di jalan-jalan. D iselingi sorak sorai balap karung, adu bola, parade sepedaan, duuuh betapa meriahnya. Puncaknya pembagian hadiah persis di malam hari tgl 17 Agustus.

Coba tengok rumah-rumah kota seperti di Jakarta. Entah di Glodok, Pinangsia, Beos, dan Pantai Indah Kapuk. Jangankan perlombaan menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia, Bendera Merah Putih, bisa jadi tak pernah berkibar sehari pun di rumah mereka.

Apalagi di apartemen-apartemen yang jumlahnya terus bertambah. Tak terlihat sehelai pun Merah Putih berkibar menyembul dari kamar mereka. Sama halnya dengan pemilik dan pengelola apartemen, hotel, mall dan gedung-gedung megah. Sepi dari bentangan hiasan kain Merah Putih raksasa.  Jika pun ada, jumahnya bisa dihitung dengan jari.

Beda dengan warga Malaysia sambut kemerdekaan di 31 Agustus. Beda sekaleee. Nah itu pertanyaannya: “Tertanamkah rasa jadi warga Indonesia?” Ini soal besar bagi Indonesia. Punya warga yang belum tumbuh rasa kebangsaan. Bagi mereka2 ini, mungkin sebagian bilang: “Emang gue pikirin”.

Ingin punya KTP Jakarta, gampang. Apalagi KTP non DKI. Jauh lebih sulit punya kartu Satpam. Musti lalui pendidikan sekian bulan. Punya kartu anggota Kopassus, lebih mendebarkan. Sebab harus bubuhkan tanda tangan. Teken “kontrak sampai mati bagi Indonesia”. Di perusahaan mana ada teken kontrak sampai mati?

Bagi warga keturunan, untuk sebagian nyaman sekali tinggal di Indonesia. Hidup serba cukup, tinggal di cluster dengan keamanan 24 jam, dilayani dengan excellent service, pun sebagian malah dikawal ketat. Indonesia memang dibeli sudah.

Hak  mereka terpenuhi beyond, melebihi warga asli Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana kewajiban mereka? Misal saja berapa banyak dari kakek nenek, ibu bapak, anak dan cucu cicit dari mereka yang bisa nyanyikan lagu “Indonesia Raya”? Jika tidak, sekarang sudah jadi soal. Kelak masalahnya lebih tak sederhan lagi.

“Soal bendera dan lagu kebangsaan, coba longok di Senayan, Kehakiman, dan penghuni lembaga-lembaga pemerintah, Bro”, batin saya ingatkan. Iya betul, yaaa. Semua tergantung pejabat negeri yang tengah mendapat amanah kelola negeri.

Semua memang tergantung kebijakan negara. Cuma di lapangan, yang begitu laaah. Soal KTP, SIM, dan passport semoga tak lagi berlaku “tergantung kebijaksanaan Bapak”. Duuuh ngeri bayangkan antara “kebijakan dan kebijaksanaan” tak sejalan.

“Apanya yang ngeri, Bro?” Bathin saya bertanya lagi. Hmmm, ragu saya menjawab. Sebab disparitas negeri ini menganga lebar dan dalam. Contohnya penghuni makam pahlawan, sebagian tak bisa wariskan sekalipun rumah sederhana tipe 36 pada anak isteri.

Tukang bendera agustusan pun cuma sekadar cari nasi di negeri sendiri. Katanya sudah merdeka, makan aja susah. Jika Soekarno diberi kesempatan longok lagi negerinya, pasti kaget sekali. Remuk hati para founding father melihat anak2 bangsanya yang diperjuangkan dulu. Mungkin Soekarno pun akan tulis lagi buku lanjutan: “Cari Nasi Di Bawah Bendera Revolusi”.

Ada yang bilang disparitas kaya miskin di Indonesia sudah jadi “bom sosial”. Dibalut utuh dengan “hukum bisa dibeli tapi keadilan tidak”. Kemiskinan ibarat rumput kering. Hanya dipantik soal sepele, rumput kering itu bisa membakar negeri.

“Eh, eeeehhh…. Bro. Bangun, banguuuun”. Tubuh saya diguncang. Tapi saya terlanjur lelap dalam mimpi buruk. “Ya Allah, jika Engkau hendak beri cobaan atas satu kaum, matikanlah kami tak dalam cobaan itu”. Aamiin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement