REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Sancaklar, bangunan dengan arsitektur modern, yang 'menyaru' dengan alam itu belum lama ini menjadi perhatian lantaran dinyatakan sebagai salah satu masjid terbaik di dunia lewat nominasi Desain of the Year oleh Museum Desain di London. Ia sudah memenangkan bangunan religius terbaik pada World Architecture Festival pada 2013,
Biro arsitektur Emre Arolat Architects menggunakan sebuah kombinasi dari batu abu-abu terang dan diperkuat be ton cor untuk membangun Masjid Sancaklar. ''Masjid Sancaklar ditujukan untuk menyatakan isu mendasar tentang pe rancangan sebuah masjid yang fokus hanya pada esensi ruang religiusnya,'' kata para arsitek dari biro milik Arolat itu.
Masjid ini tak ingin menunjukkan perlawanan dengan alam. Kepingan anak tangga yang panjang membawa tamu masjid menuju bangunan yang terletak di bawah tanah itu. Rerumputan yang tumbuh di sekitarnya membantu untuk mengintegrasikan anak tangga dan atap menyatu dengan lanskapnya.
(Baca: Turki Kembangkan Gaya Arsitekur Modern Masjid)
Sebuah kombinasi partisi beton, dinding batu, dan kotak tinggi melindungi area taman pada tingkat yang lebih rendah. Di tempat yang lebih rendah itu, batu-batu pijak membantu menyeberangi kolam dangkal yang menghampar menuju pintu masuk.
''Saya rasa, baik saja bila masjid berpenampilan lebih bersahaja sekarang ini cocok dengan masa kini,'' kata Emre Arolat, sang perancang. Pada waktu pembangunan itu, faksi konservatif di Turki tengah gencar-gencarnya menyukai bangunan yang kembali mengingatkan pada era Ottoman.
Tak pelak, penegasan Arolat pada modernisme sebagai basis bagi arsitektur kontemporer Turki menjadi sebuah penegasan yang penting dalam dunia arsitektur negeri di dua benua itu.
''Kami pikir, bila kami menyesuaikan topografi sedikit saja, kami akan membuat bangunan sebagai bagian dari ling kungannya,'' kata Arolat. Maka, ia dan timnya me masukkan masjid seluas 1.208 meter persegi di samping bukit dan mene gakkan serangkaian dinding batu untuk menyangganya dari perpanjangan jalan dan halalman parkir.
Wanita memasuki ruang utama masjid melalui sebuah portal yang ditandai oleh sepasang dinding yang menjorok ke halaman. Sementara, pria berjalan sepanjang koridor luar yang ditandai dengan dinding batu tunggal di bawah kanopi miring masjid itu. Pintu masuk utama itu mengekspresikan kerendahan hati yang menjadi inti bangunan ini.
Ruang ibadah yang panjang menjadi pusat dari bangunan ini. Sementara itu, ruang-ruang pendukung, termasuk foyer, ruang penyimpanan sepatu, dan ruang wudhu diatur pada sekelilingnya.
Umumnya masjid, sepatu dan sandal jamaah ditinggalkan di pintu masuk. Tapi, di masjid ini Arolat tak membiarkan pe mandangan itu terlihat. Ia memasang rak sepatu di balik dinding batu yang melengkung yang menjorok ke halaman bawah. Ini mungkin langkah kecil, tapi petunjuk suatu upaya menggunakan minimalisme untuk membentuk tempat ibadah.