Selasa 09 Aug 2016 12:42 WIB

Haji dan Pendidikan Nilai

Jamaah haji di kota Makkah
Foto: AP / Mosa'ab Elshamy
Jamaah haji di kota Makkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab

Musim haji telah tiba. Umat Islam dari seluruh penjuru dunia bergerak ke Tanah Suci untuk menunaikan haji. Kesiapan fisik, finansial, dan mental spiritual merupakan modal dan bekal yang harus dibawa jamaah haji. Para tamu Allah (dhuyuf ar-Rahman) pasti berniat, berkomitmen kuat, dan berharap memperoleh haji mabrur, yang balasannya tidak lain adalah surga (HR Muslim).

Haji merupakan ibadah multidimensi, multiaksi, dan multinilai. Manasik haji bukan sekadar ritualitas dan formalitas fisik yang menguras tenaga tanpa makna. Haji itu kaya pelajaran moral, pendidikan nilai dan inspirasi. Manasik haji ibarat sebuah dramatisasi kehidupan yang sarat dengan inspirasi, makna spiritual dan moral.

Ibadah haji sangat menginspirasi dan memotivasi hujjaj untuk mengaktualisasikan nilai-nilai moral dan sosial kultural dalam kehidupan sehari-hari yang berorentasi kebajikan dan kemanusiaan. Haji dimulai dengan niat ihram pada garis star miqat.

Pakaian ihram yang serbaputih dan tidak berjahit (bagi lelaki) melambangkan kesucian hati lahir batin, ketulusan niat, kejernihan pikiran, kebulatan tekad dan komitmen untuk selalu memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah). Esensi thawaf bukan sekadar berlari kecil mengelilingi Ka'bah tujuh kali, dimulai dan berakhir pada rukun aswadi (di garis lurus Hajar Aswad).

Thawaf mengharuskan hujjaj berakidah tauhid sejati. Thawaf itu ibarat tasbih kehidupan. Semua gerakan thawaf itu harus berada dalam orbit tauhid. Gerakan thawaf melambangkan dinamika kehidupan yang progresif dan transformatif. Oleh sebab itu, thawaf membentuk Muslim antisyirik, tidak mudah dijajah oleh berhala sosial politik dan budaya.

Selanjutnya, sa'i antara bukit shafa dan marwa mengandung etos kerja produktif dan motivasi berprestasi tinggi. Kegigihan Hajar, ibunda Nabi Ismail AS, dalam mencari dan menemukan air kehidupan bagi buah hati yang dicintainya menginspirasi jamaah haji untuk meneladani seorang ibu yang tidak pernah lelah dan menyerah dalam menyayangi dan mengantarkan anaknya untuk meraih masa depannya.

Wuquf di padang Arafah adalah cermin kesadaran personal terhadap pentingnya "berhenti sejenak sambil makrifat diri" untuk dapat merasakan kehadiran Allah SWT. Sebagai simbol miniatur padang makhsyar di akhirat kelak, wukuf memberi kesadaran eskatologis mengenai perlunya muhasabah (evaluasi diri), pengenalan jati diri, dan lebih penting lagi "pengadilan terhadap diri sendiri".

Pada malam hari menuju Mina, para jamaah haji diminta bermabit di Muzdalifah (pendekatan diri kepada Allah), sekali lagi bertobat dan bermunajat kepada-Nya sambil menyiapkan "amunisi jihad" untuk pelemparan tugu simbolik jamarat di Mina.

Mina adalah simbolisasi cita-cita dan cinta. Karena cinta-Nya yang sangat tulus kepada Allah, Nabi Ibrahim AS rela mengorbankan anak yang dicintainya, Ismail. Berjuang melawan setan dan hawa nafsu hanya bisa dimenangi oleh rasa cinta yang tulus kepada Allah SWT.

Melalui ibadah haji, Allah SWT menitipkan berjuta inspirasi kehidupan dan pesan-pesan moral dan spiritual agar manusia saling bersikap toleran, bersedia menerima dan memahami aneka perbedaan, cinta damai, rukun, saling menghargai, toleransi, disiplin, beretos kerja tinggi, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW dalam khutbah wada’-nya yang diulang-ulang sampai empat kali: saat beliau di Arafah, dua kali di Mina, dan di dekat Ka’bah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement