Senin 08 Aug 2016 09:57 WIB

Membaca Warisan Rumi

Jalaluddin ar-Rumi (ilustrasi).
Foto:

Buku ini merupakan rekaman diskusi-diskusi spiritual yang seringkali mengikuti alunan musik dan tarian, pendeklamasian puisi-puisi dan frase-frase suci untuk menghidupkan dan membawa pembahasan spiritual kepada berbagai varian manusia. Tidak hanya pada zamannya, tetapi juga amat relevan pada masa kini. Itu sebabnya, Fihi Ma Fihi merupakan warisan tercecer Rumi yang amat berharga termasuk bagi masyarat modern.

Seperti juga puisi-puisinya, tulisan-tulisan Rumi yang dihimpun dalam buku inipun memiliki vitalitas yang luar biasa. Saat memberi kata pengantar buku ini, Doug Marman (Omphaloskepsis, Ames, Iowa, Amerika Serikat), mengatakan ''Bagaimanapun juga, judul ini sarat dengan beragam makna, sebagaimana semua karya Rumi. 

Ini barangkali gagasan aneh,  bahwa seseorang dapat mengkomunikasikan banyak hal, pada banyak tingkatan, pada saat yang sama.'' Doug menyimpulkan, Fihi Ma Fihi menyediakan penjelasan-penjelasan dan kunci-kunci  untuk membuka makna Matsnawi. ''Dua karya ini ditulis saling berkaitan, dan mengandung banyak referensi dan cerita-cerita yang diteruskan dari yang satu ke yang lainnya.''

Salah satu hal yang menarik dari karya-karya Rumi adalah dia tidak pernah bersifat umum dalam diskusi-diskusinya. Rumi selalu berbicara untuk situasi-situasi yang spesifik. Dia membincangkan keimanan-keimanan khusus dan pertentangan-pertentangan dari orang-orang di sekelilingnya, dan dia adaalah seorang saksi dan pembicara bagi Sang Jalan karena Sang Jalan sedang mewujud pada zamannya. Dan, kata Doug, masih saja kata-katanya mengajari kita sekarang.

Buku yang berasal dari manuskrip ini berisi 71 wacana. Tiap-tiap wacana, seperti disebutkan di atas, bicara tentang hal yang khusus. Rumi menjadi saksi sekaligus pembicara -- yang darinya orang dapat mengambil hikmah amat besar untuk kehidupan.  Setiap wacana sarat pesan dan makna, yang seringkali disampaikan dalam bentuk ibarat atau tamsil. Lalu disambungkan dengan ayat-ayat Al Qur'an dan Hadits Rasulullah saw.

Misalnya wacana 4 yang menyebutkan tentang tugas khusus manusia. Menurut Rumi, setiap orang memasuki dunia ini demi sebuah tugas khusus, dan itulah tujuan mereka. Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka sesungguhnya tidak melakukan apa-apa.

''Segala sesuatu dibebani tugas. Langit mengirim hujan dan cahaya untuk hamparan padang agar bersemi dan tumbuh hidup. Bumi menerima benih dan melahirkan buah-buahan. Gunung-gunung menjaga tambang-tambang emas dan perak. Semua benda ini, langit dan bumi dan gunung bekerja, namun tidak melakukan satu hal itu: tugas khusus itu kita yang melakukan.''

Lalu, Rumi mengutip sebuah ayat Al Qur'an, ''Kami menawarkan kepercayaan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, mereka menolak untuk melakukannya dan takut akan hal tersebut, tetapi manusia melaksanakannya. Sungguh mereka bodoh dan berlumur dosa.'' (hlm 17)

Rumi juga mengingatkan manusia agar jangan pernah melupakan tujuan hidup. Dia mengambil tamsil dari kisah sepasang kekasih abadi, Laila-Majnun. Ketika Majnun sedang melakukan perjalanan untuk kekasihnya, Laila, sepanjang dia benar-benar sadar dia mendorong untanya ke arah itu. Tetapi ketika sesaat dia begitu khusyuk mengingat Laila dan melupakan untanya, unta itu menelusuri jalan kembali ke desa di mana anak unta itu disimpan. Menyadari keadaan ini, Majnun mendapati  bahwa dia telah mundur ke belakang dua hari perjalanan. Akhirnya dia melompat dari untanya dan berkata, ''Unta ini adalah kehancuranku!'' dan kemudian berjalan kaki sambil bernyanyi:

Hasrat untaku sekarang telah kutinggalkan di belakang

Hasratku sendiri ada di depan

Tujuan kita sudah berbeda

Kita tidak lagi sepakat.

Siapa pun yang beruntung pernah membaca Matsnawi, atau bagian-bagian dari buku kumpulan puisi mistis terindah dan abadi itu perlu membaca Fihi Ma Fihi.  

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement