Sabtu 06 Aug 2016 11:26 WIB

Nafsu Kuasa, Sok Jaim, dan Rasa Menjadi Hebat

Narsis/ilustrasi
Foto:
Selfie menggunakan tongkat narsis (tongsis).

Tanpa sadar, nafsu telah ambil alih. Pegang kendali dan jadi pemandu. Senyum angkuh saya sumringah. Padahal tadi kening berkerut2.

Nafsu yg biasanya menyindir, kini membela habis2an. Saya yang sering bilang ke mana-mana, manusia itu musti “tahu diri”, kini justru saya yang “lupa diri”.

“Bro, elo emang hebat. TDA kan keren. Mau silaturahim ke elo. Berarti elo gak kalah kereeen. Tul gak?" Nafsu terus kipas-kipasi. Wuaaah rasanya makin sesak dada ini. Dipenuhi rasa-rasa merasa heubaaat.

“Sebenarnya, kenapa elo gak lagi jadi Penasihat TDA? Diberi tahu, kagak. Dapat surat pemberhentian juga enggak. Elo bisa tanya ke Jay Teroris. Di era dia BOD, nama elo sbg penasihat gak lagi tercantum. Bukan hanya dipecat, artinya elo sudah dipersona non grata, Bro!”

Saya tercenung lagi. Cuping hidung mulai membuka-buka. Dengus nafas juga mulai bersuara. “Koq selama ini elo diam aja sih. Temen apa’an tuh?” Nafsu makin memanas-manasi.

Saya mulai mengingat2 sikap Jay Teroris. Hati mulai tak terima. Panasnya bisa didihkan kepala. “Hmmmm…. Jay. Ini pengurus baru yang tak saya kenal, mau silaturahim. Ente yang kenal deket, kenapa koq begitu, yaaa” saya mulai buat2 perhitungan.

Akal dan nurani, kini ditekuk lagi oleh nafsu. Gagal ingatkan protes teman-teman di hp: “Sok jaim, miskin sapa, serta susah silaturahim”.

Yang ada cuma dengus nafsu berkejaran. “Awaaas’, elo Jay”. Akal dan nurani makin jongkok. Gagal ingatkan perseturuan. Bibit-bibit yang bakal cuatkan perang parah saya dan Jay Teroris. Siapa teman Jay Teroris, artinya dia jadi lawan saya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement