Oleh: DR ONI SAHRONI MA, Dewan Pengawas Syariah Laznas IZI dan Anggota DSN-MUI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewasa ini, rata-rata pendapatan setiap orang bersumber dari kegiatannya sebagai tenaga profesional atau sebagai kayawan. Ada dua kategori pekerjaan yang menghasilkan upah/pendapatan, yaitu setiap pekerjaan yang dilakukan langsung (al-Mihan al-Hurrah), baik pekerjaan yang mengandalkan pekerjaan otak, seperti pengacara, penulis, intelektual, dokter, konsultan, pekerja kantoran, dan sejenisnya (al-Mihaniyyun).
Jenis lainnya, yakni pekerjaan yang mengandalkan tangan atau tenaga, misalnya, para pengrajin, pandai besi, tukang las, mekanik bengkel, tukang jahit, buruh bangunan, dan sejenisnya (ashabul hirfah). Juga, setiap pekerjaan yang dilakukan sebagai bagian dari lembaga, baik pemerintah maupun swasta (kasb al-'amal), seperti karyawan dan lain sebagainya.
Jadi, karakteristik profesi adalah segala jenis pekerjaan selain bertani, berdagang, bertambang, beternak, pekerjaan yang lebih banyak bergerak di bidang jasa atau pelayanan. Pekerjaan itu pada umumnya dilaksanakan berdasarkan basis ilmu dan teori tertentu.
Imbalan atau penghasilannya berupa upah atau gaji dalam bentuk mata uang, baik bersifat tetap maupun tidak tetap. Semua jenis penghasilan yang didapatkan oleh para tenaga profesional tersebut, bila memenuhi syarat nishab dan haul maka harus dikeluarkan zakatnya.
Kedua bentuk pendapatan tersebut yang menjadi profesi dan pendapatan pada umumnya ada di masyarakat kita, khususnya di Indonesia. Pendapatan dalam fikih disebut sebagai maal mustafad, maksudnya zakat penghasilan atau zakat profesi (al-Maal al-Mustafad) adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan orang/lembaga lain yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nishab (batas minimum untuk wajib zakat). Contohnya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar, olahragawan, artis, seniman, dan sejenisnya.
Zakat profesi (maal mustafad) ini bukan bahasan baru, para ulama fikih telah menjelaskan dalam kitab-kitab klasik, di antaranya, kitab al-Muhalla (Ibnu Hazm), al-Mughni (Ibnu Quddamah), Nail al-Athar (asy-Syaukani), Subul as-Salam (ash-Shan'ani). Menurut mereka, setiap upah/gaji yang didapatkan dari pekerjaan itu wajib zakat (wajib ditunaikan zakatnya). Di antara para ulama yang mewajibkan zakat profesi adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Mu'awiah, ash-Shadiq, al-Baqir, an-Nashir, Daud Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan, az-Zuhri, dan al-Auza'i.
Dalam bukunya, al-Islam wa al-audha' al-iqtishadiyah, Syeikh al-Ghazali menjelaskan bahwa setiap pendapatan kaum profesi itu wajib zakat karena ayat-ayat yang mewajibkan zakat terhadap setiap harta tanpa memilah jenis dan bentuknya. Kewajiban ini juga sesuai dengan maqashid diberlakukannya zakat, yaitu semangat berbagi dan memenuhi hajat dhuafa dan kebutuhan dakwah.
Sesuai pula dengan kaidah umum zakat bahwa zakat diberlakukan untuk hartawan yang telah memenuhi nishab. Oleh karena itu, tidak mungkin zakat diwajibkan kepada petani yang mendapatkan penghasilan setahun, sementara seorang karyawan mendapatkan satu kali penghasilan sama dengan penghasilan petani dalam setahun.