REPUBLIKA.CO.ID, PHILADELPHIA -- Muslim Amerika tampaknya dihadapkan pada pilihan sulit dalam pemilihan umum presiden 8 November mendatang.
Setelah Donald Trump dengan retorika anti-Muslimnya resmi menjadi calon presiden Partai Republik, kini Hillary Clinton resmi dinyatakan sebagai calon presiden dari Partai Demokrat.
Hillary Clinton bukan politisi baru di AS. Ia memiliki catatan panjang menjadi bagian dari pemerintahan dan politik di Amerika. Setelah delapan tahun menjabat sebagai Ibu Negara, Clinton juga menjabat sebagai senator New York dari 2001 hingga 2009.
Dari 2009 sampai 2013, Clinton berperan sebagai menteri luar negeri. Ia mengawasi kelanjutan perang di Irak dan mendorong keterlibatan agresif AS dalam konflik Timur Tengah terutama di Libya dan Suriah.
Dilansir The News, Clinton cenderung memiliki kebijakan luar negeri yang keras terhadap negara-negara mayoritas Muslim. Ia juga memiliki hubungan 'tak tergoyahkan'
dengan Israel. Di dalam negeri ia mendukung kebijakan Patriot dan mendukung kebijakan kontra-radikalisasi, yang menghubungkan religiusitas (Muslim) dengan ketrlibatan yang diduga terorisme.
Blok Muslim Amerika progresif yang mendukung Sanders telah lama melancarkan kritik pada platform masa lalu dan kini Clinton. Setelah Sanders tersingkir, Muslim Amerika kini dihadapkan pada dua calon yang sulit.
Calon pertama kerap membingkai kampanyenya dengan kalimat-kalimat anti-Muslim. Sementara calon lainnya dengan catatan politik yang mendukung pendekatan garis keras terhadap Muslim.
Dilansir Aljazirah, untuk Muslim Amerika memilih Trump nampaknya sesuatu yang tak terpikirkan oleh mereka. Namun di sisi lain memberikan suara pada Clinton berisiko adanya ancaman perang melawan teror yang diperluas di dalam maupun luar negeri. Mendaftarkan pilihan ketiga atau abstain akan membuat Muslim Amerika semakin termarginalkan dalam politik.