Senin 18 Jul 2016 04:51 WIB

Pena Jawa Turki, Keraton Mataram, dan Eksistensi Kerajaan Nusantara

Hagia Sophia di Turki
Foto:

Kalau penguasa terbesar kerajaan Mataram (Pangeran Rangsang/Sultan Agung) mengirimkan utusan ke Makkah untuk menjalin hubungan dan meminta izin penggunaan gelar sultan, maka para raja lain di nusantara (bahkan juga di Malaysia, yakni Kesultanan Johor) juga melakukan hal yang sama.

Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra dalam disertasinya yang legendaris, "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII", menyatakan, pada tahun 1640 dan 1641 Sultan Palembang mengirimkan beberapa pucuk surat ke Makkah yang dikirimkan melalui kapal-kapal Aceh.

Hal sama juga dilakukan oleh Kerajaan Makassar yang intens berkirim surat ke Syarif Makkah. Salah satu surat di antaranya dibuat untuk meminta pengiriman ulama. Eratnya hubungan wakil penguasa Turki di Makkah (Syarif Makkah) dengan para raja di nusantara diindikasikan terjalin sejak abad ke-16; penguasa Makkah atau Syarif Makkah itu telah mengenal dengan baik mengenai sosok dan seluk beluk kepulauan nusantara.

Bahkan, tak sekadar berhubungan dengan surat, penguasa Banten Sultan Abdul Qadir pada tahun 1638 M/1048 H mengirimkan utusan ke Makkah untuk meminta penggunaan gelar sultan dari Syarif Makkah. Sama halnya dengan Sultan Mataram Yogyakarta (Sultan Agung), Sultan Banten ini juga menerima stempel, bendera, dan pakaian suci serta apa yang dipercayai sebagai jejak kaki Nabi Muhammad SAW dari penguasa Haramayn tersebut.

Dan setibanya utusan itu di Banten, maka semua pemberian Syarif Makkah tersebut diarak dalam sebuah prosesi mengelilingi Kota Banten setiap kali peringatan Maulid Nabi Muhammad (di Keraton Yogyakarta disebut Gregeb Mulud). Peringatan Grebeg Mulud ini pun masih berlangsung sampai sekarang.

Selanjutnya, pertukaran surat-menyurat di antara Istana Banten dan penguasa Haramayn yang saat itu berada dalam kekuasaan Turki Usmani tersebut terus berlanjut secara intens sampai menjelang akhir abad ke-17.

Selain itu, pengaruh Turki juga membekas di dalam penataan lanskap kota-kota di Indonesia. Di masa lalu di depan bangunan istana raja atau pendopo kabupaten selalu tersedia sebuah lapangan atau alun-alun yang luas. Di sebelah kanannya berdiri bangunan masjid raya. Sedangkan, di bagian sebelah kirinya berdiri bangunan penjara. Sisa lanskap itu masih terlihat jelas di berbagai kota yang ada di Pulau Jawa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement