Senin 18 Jul 2016 04:51 WIB

Pena Jawa Turki, Keraton Mataram, dan Eksistensi Kerajaan Nusantara

Hagia Sophia di Turki
Foto:

Pada pembukaan acara Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta pada Rabu (12 Februari 2015), ada sebuah momen yang menarik. Hal itu adalah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X mengakui adanya hubungan yang erat antara Kesultanan Yogyakarta dengan Kekhalifahan Usmani di Turki.

Sekadar diketahui, Kekhalifahan Usmani adalah kesultanan terakhir yang membawahkan seluruh kerajaan umat Islam di dunia dan runtuh pada 1924. Sultan mengatakan, Keraton Yogyakarta merupakan perwakilan kekhalifahan Islam di Jawa dan merupakan kelanjutan dari Kesultanan Demak.

Berikut isi sebagian pidato Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Pembukaan KUII VI

…Kongres Umat Islam ke-6 yang diselenggarakan di Yogyakarta dan kini pembukaannya Insya Allah berlangsung di Pagelaran Kraton Yogyakarta, mengandung makna simbolik sebuah ziarah spiritual, karena bangunan Pagelaran ini disangga oleh 64 buah tiang yang menandai usia Rasulullah SAW dan perhitungan tahun Jawa.

Sehingga, kongres yang dirancang untuk napak laku kongres sebelumnya yang juga dilaksanakan di Yogyakarta, (7-8 November 1945--Red) akan memberi makna historis, agar umat Islam melakukan introspeksi diri dan retrospeksi atas perjalanan sejarahnya.

Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.

Ketika 1935 Ataturk mengubah sistem kalender Hijriyah menjadi Masehi, jauh pada zaman Sultan Agung tahun 1633 telah mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka. Masa itu sering disebut sebagai awal Renaisans Jawa.

Jika kita melakukan retrospeksi, dalam sejarah pergerakan Islam modern disebutkan, pada abad 19-20 muncul gerakan kebangkitan Islam. Pelopornya adalah Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan Ali Jinah. Mereka menganjurkan agar kaum Muslim membumikan ijtihad dan jihad fi sabilillah, serta memperkokoh solidaritas Islam.

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa keberangkatan KH Ahmad Dahlan, yang saat itu adalah abdi dalem Kraton, justru atas dorongan dan dukungan Sri Sultan HB VII. Bakda membaca dalam "Tafsir AL Manaar" karya Abduh, pada 1912 ia pun mendirikan perserikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.

Dalam artikel: "Indonersianisme dan Pan-Asiatisme", Bung Karno menulis "... abad-20 sudah tidak menjadi abad perbedaan warna kulit lagi, tapi sudah berubah menjadi abad yang memberikan jawaban terhadap problem of the colour-line.

Dalam tulisan lain, "Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara?" Bung Karno mengutip tulisan Frances Woodsmall, "Moslem Women Enter A New World", bahwa Turki Modern adalah antikolot, antisosial lahir dalam hal ibadah, tetapi tidak antiagama.

Islam sebagai kepercayaan person tidaklah dihapuskan, sembahyang di masjid-masjid tidaklah diberhentikan, aturan-aturan agama pun tidak dihapuskan. "Kita datang dari Timur, kita berjalan menuju ke Barat", demikian entri point artikel Bung Karno tersebut mengutip tulisan Zia Keuk Alp.

Di tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda, dengan merujuk ajaran Islam "Hubbul wathan minal iman" (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Dari kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan membara.

Dalam bukunya: "The Rising Tide of Colour Against White World-Supremcy" (1920), Lothrop Stoddard mendalilkan keruntuhan supremasi kolonialisme Barat, karena cepatnya pertumbuhan (tide = pasang naik) populasi penduduk kulit berwarna. Dalam buku berikutnya, "The New World of Islam" (1921), ia meramalkan kebangkitan Dunia Islam di awal abad 20 untuk meraih kembali kejayaan masa silam adalah suatu keniscayaan sejarah ….

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement