REPUBLIKA.CO.ID, Kemenangan umat Islam pada Ramadhan bukan hanya terjadi pada masa Rasulullah SAW dan para generasi salaf. Kemenangan juga terjadi pada abad ke-19. Salah satunya yaitu peperangan antara negara-negara Arab dan Israel.
Muhsin Muhammad Shaleh dalam karyanya yang berjudul Palestina: Sejarah, Perkembangan dan Konspirasi menjelaskan, pada 6 Oktober 1973, peperangan Arab-Israel pecah (Perang Oktober atau Perang Ramadhan). Pada perang ini Mesir dan Suriah terlibat dalam pertempuran dengan entitas Zionis yang sangat menguras dan melelahkan.
Pemantapan identitas nasional Palestina dan merepresentasikan Operasi Pembebasan Palestina (OPP) sebagai satu-satunya lembaga konstitusional bagi Palestina secara praktis mengalir dengan tujuan menghapus beban tanggung jawab persoalan dari atas bahu negara Arab dan membebankannya hanya bagi orang Palestina.
Dengan perjalanan waktu (khususnya setelah 1973) tanggung jawab negara Arab terkonsentrasi untuk memberikan dukungan politis dan ekonomis.
Posisi negara Arab pada awal mulanya sangat kuat, maka diadakanlah Konferensi Khourtoum, Mei 1967, di mana para raja, pemimpin, dan emir Arab memutuskan bahwa tidak ada perdamaian, tidak ada negosiasi dan tidak ada kata menyerah dengan Zionis.
Mesir dan Suriah dapat meraih beberapa keberhasilan. Pasukan Mesir dapat merangsek ke arah Timur Terusan Suez dan masuk ke wilayah Sinai, sebagaimana pasukan Suriah juga dapat masuk ke wilayah Golan.
Zionis tidak dapat memanfaatkan bantuan udara Amerika untuk berinisatif menerobos kembali front barat dari terusan Suez.
Kerugian Israel yang besar di dalam peperangan Oktober merupakan pukulan telak bagi mitos bahwa pasukan Zionis tidak dapat dikalahkan. Kemenangan atas Israel ini sekaligus mengembalikan spirit dan kepercayaan diri yang terjadi dalam Perang 1967.
Perang Oktober telah dipersepsikan sebagai kemenangan yang gemilang, pimpinan Suriah dan Mesir pun tampil dengan wajah sebagai pahlawan.