Selasa 24 May 2016 04:53 WIB

Raffles, Inggris, Istana Bogor, dan 'Simbol Kesengsaraan' Santri Jawa

Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).
Foto:
Rumah warga pribumi di pedalaman Jawa Tengah bagian selatan, pada awal abad ke 20. Rumah dan sosok warga yang terlihat begitu sengsara dibekap dalam kemlaratan. (Foto:gahetna.nl)

Kenangan yang memerihkan atas perbuatan Raffles yang kemudian membuat taman hutan di bekas samida Prabu Siiwangi makin tak terkira sakitnya ketika kemudian diketahui bila pengetahuan mengenai pengolahan tanah dan budi daya tanaman yang digagasnya itu di lain hari malah dijadikan salah satu basis ide pembuatan kebijakan tanam paksa (1830-1870).

Nuansa ini jelas sekali tampak ketika membaca buku karya Raffles yang sangat terkenal, History of Java. Dalam buku itu tercantum begitu lengkap mengenai apa saja tanaman yang bisa tumbuh subur di Jawa. Raffles dengan detail menerangkannya hingga sampai pada soal pembagian lokasi dan jenis tanah yang ada di Pulau Jawa yang memang subur itu.

Akibat tanam paksa (cultuur stelsel) ini kehidupan rakyat di Jawa hampir-hampir mengalami kemusnahan massal. Tak hanya kemiskinan yang meluas, wabah penyakit, kelaparan, dan kekurangan makan bergentayangan dalam kehidupan rakyat sehari-hari. Berbagai catatan arsip menceritakan  betapa jalanan di kawasan pantai utara dan pedalaman Jawa dipenuhi manusia tanpa daging yang sudah mirip tengkorak. Mereka berpakaian compang-camping dan tinggal di hunian yang sangat tidak layak. Grobogan dan Demak ditimpa kelaparan yang mengerikan. Tercatat seperempat dari jumlah total populasi orang Jawa yang pada saat itu jumlahnya mencapai sekitar 40 juta orang, mati sia-sia sebagai imbasnya

Dan seiring berlakunya sistem tanam paksa, pada saat yang sama muncul kebijakan baru dari pemerintah kolonial terhadap penyebaran agama Kristen di Jawa. Bila sebelumnya kerja kaum "zending" dan "misi" tidak mendapat dukungan langsung dari pemerintah kolonial, maka mulai saat itu kegiatan mereka secara resmi mendapat dukungan politik pemerintahan kolonial Belanda.

Maka tak lama kemudian, di tengah meluasnya kemiskinan akibat kebijakan tanam paksa tersebut, di paruh akhir abad 19 mulai muncul komunitas Kristen di Jawa. Pelopornya adalah Kiai Sadrach (1835-1924). Sebuah gereja didirikannya di Desa Karang Jasa (Karangjoso--Red), sekitar 25 kilometer sebelah selatan Kota Purworejo (Jawa Tengah).

Warga pribumi yang hidup miskin dan ditambah tingkat pemahaman Islamnya yang masih "setebal lapis kulit ari" banyak yang terpikat kepada Sadrach. Kalangan rakyat jelata yang di perdesaan Jawa, mulai dari "kuli kenceng" dan "kuli kendo", magersari, bedinde (babu/pembantu), hingga penjual dagangan eceran keliling menjadi pengikut awalnya. Kerja Sadrach ini makin efektif karena menggabungkan ajaran budaya lokal dengan teologi ajaran Kristen serta dukungan politik yang besar dari pihak pemerintah kolonial Belanda.

Dukungan politik itu tidak berlaku bagi pribumi Muslim atau kaum santri di Jawa yang saat itu menjadi pihak yang kalah dalam Perang Jawa. Meski merupakan agama mayoritas yang dianut di Jawa, kepercayaan mereka diberlakukan seadanya. Mendiang sejarawan Aqib Suminto dalam disertasinya sewaktu meraih gelar doktor di Universitas Leiden pada tahun 1980-an menyatakan, bantuan kepada kelompok masyarakat Islam sangat kecil jumlahnya, bahkan bisa sampai 1/60 dari dari kucuran dana yang diberikan kepada komunitas Kristen. Gaji penghulu, misalnya, hanya seperlima belas dari bantuan yang diberikan (gaji) kepada pengajar agama Kristen.

Dan, berbeda dengan nasib penduduk di Jawa, rakyat Belanda menikmati kemakmuran atas kebijakan tanam paksa yang berlangsung selama 47 tahun itu. Dana sekitar 832 juta gulden atau sekitar 70 miliar dolar AS (Rp 9.100 triliun dengan nilai kurs Rp 13.000/dolar AS) dapat dikumpulkan sepanjang massa itu.

Alhasil, Kebun Raya dan Istana Bogor yang megah itu malah bisa juga dikatakan sebagai monumen aau simbol penderitaan, kesengsaraan, dan kemelaratan orang Jawa. Bangunan dan pepohonan hutan yang ada di tempat itu adalah saksi bisunya.

Ironis, memang!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement