Selasa 24 May 2016 04:53 WIB

Raffles, Inggris, Istana Bogor, dan 'Simbol Kesengsaraan' Santri Jawa

Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).
Foto:
Abdi dalem Kraton Yogyakarta membawa gunungan untuk diperebutkan saat Grebeg Besar di halaman Masjid Gede, Kauman, Yogyakarta.

Dalam buku History of Java, Raffles secara gamblang menggambarkan betapa suburnya Pulau Jawa. Hampir semua jenis tanaman bisa tumbuh dengan baik di pulau yang juga dinamai Jawa Dwipa ini. Mulai dari puncak gunung yang berapi hingga ke lembah dan pantai tanahnya penuh dengan aneka tanaman buah dan makanan. Air mengalir sepanjang tahun. Sungainya penuh aneka ikan dan juga buaya menjadi penghuninya. Binatang buruan dari rusa hingga menjangan tersedia melimpah. Dengan kata lain, tak perlu takut kelaparan kalau tinggal di Jawa.

Tampaknya daya tarik akan kesuburuan Jawa yang saat itu juga menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda membuat Inggris terpincut sehingga ingin menguasai Pulau Jawa. Kebetulan pada saat itu Kerajaan Inggris sedang lemah karena dikuasai Prancis.

Maka, tak aneh lagi bila Inggris pun mengirimkan pasukan untuk menguasai Batavia dan menyerbu salah satu kerajaan terkuat di Jawa (Kesutanan Mataram Yogyakarta) yang selama ini terus membangkang kepada pihak kolonial. Maka dari pangkalan militer Inggris yang ada di India, pasukan Inggris yang sebagian anggota legiunnya merupakan tentara sepoy (tentara bayaran asal India/gurkha) dikirimkan ke Yogyakarta untuk menaklukkan Kerajaan Mataram.

Catatan anggota tentara Inggris, Major Wiliam Thron, menyatakan, perang memperebutkan Keraton Yogyakarta dimulai dua hari setelah pasukannya sampai ke Yogya, yakni pada tanggal 19 Juni 1812. Menurut dia, jumlah pasukannya hanya sedikit--yakni hanya berbilang ratusan orang--namun mereka terampil dalam olah senjata dan sangat solid. Pasukan ini hanya terdiri dari sebagian resimen ke-14 yang merupakan pasukan darat,  lalu sebagian dari sebagian pasukan infantri ringan, pasukan batalion sukarela ke-3, sejumlah pasukan artileri, dan dua pasukan ke-22. Mereka sukses menaklukkan pasukan Sultan Mataram yang saat itu jumlahnya ribuan orang dan tinggal di istana yang dikelilingi parit berair yang lebar serta dilindungi tembok benteng yang tinggi yang dilengkapi meriam.

Tentu saja setelah keraton dikuasai maka penjarahan pun terjadi. Raja dan pembesar kerajaan dilucuti. Sultan menyerahkan keris, pedang, dan belatinya. Semua senjata pusaka keraton disita, yaitu Kiai Paningset, Kiai Sangkelat, Kiai Urub, Kiai Jinggo, Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, dan Kiai Mesem. Wanita dilecehkan serta barang berharga milik mereka dilucuti.

Dalam situasi kacau itu, Letnan Hector Maclean dari Resimen Bucckinghamshires mati ditikam seorang putri ketika mencoba menjarah keputren. Raden Ayu Wandan (istri putra mahkota) dipaksa melepaskan pakaian kebesarannya di depan para abdi dalemnya. Ratu Kencono Wulan juga dipaksa menyerahkan sebongkah intan sebesar jempol kaki yang dimilikinya meski sudah berusaha disembunyikan di dasar sumur.

Tentu saja Raffles pun tak ketinggalan ikut menguras harta istana. Dia menjarah dan mengangkut harta keraton yang nilainya sekitar 200.000 hingga 1.200.000 dolar. Tak hanya dia, seorang panglima tentara Inggris di Jawa, Kolonel Rollo Gillespie, tak ketinggalan pula ikut menjarah harta Keraton Yogyakarta senilai 800.000 dolar Spanyol.

Dari jumlah sebanyak itu, sebagian di antaranya, yakni sebesar 74.000 dolar Spanyol (sekitar Rp 27 miliar untuk kurs masa kini) dimasukkan ke dalam kantongnya sendiri sebagai milik pribadi. Sementara, sisanya dibagi-bagikan ke perwira lain di bawahnya. Sedangkan, sebagian lagi, yakni sebesar 7.000 dolar Spanyol (sekitar Rp 2,5 miliar untuk kurs kini) dibagikan kepada pemimpin legiun pribumi yang menjadi sekutunya dalam penjarahan tersebut, yakni Pangeran Prangwedana dari Mangkunagaran.

Dari penelitian Carey, dalam perampokan akbar Keraton Yogyakarta yang berlangsung selama empat hari itu, Raffles mengangkut banyak sekali benda budaya yang sangat berharga seperti alat perlengkapan senjata, satuan-satuan wayang, semua gamelan keraton, dan arsip serta naskah-naskah. Hanya satu benda, yakni kitab suci Alquran yang oleh Raffles tidak diambil karena dia merasa itu merupakan benda yang remeh-temeh sehingga tidak termasuk warisan adiluhung yang harus dijarah. Naskah-naskah itu mencakup karya-karya sastra seperti babad, juga surat pendaftaran tanah berisi perincian tanah jabatan yang diberikan kepada anggota keluarga Sultan dan para pejabat di wilayah negaragung.

Mengenai kisah penjarahan keraton di masa Raffles, dalam sebuah kesempatan Sultan Hamengku Buwono X sempat menceritakan bahwa pada saat itu ada 40 gerobak sapi yang dipakai Raffles untuk mengangkut buku-buku milik Keraton Yogyakarta. Barang itu dibawanya dari Yogyakarta menuju ke Semarang untuk selanjutnya dibawa dengan peti kargo ke London dengan memakai kapal. Sebagian besar naskah ini kemudian dibeli British Museum pada tahun 1842.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement