Kamis 12 May 2016 04:57 WIB
Mengingat Kisah Berdarah di Madiun pada Akhir Tahun 1948

Ketika Kiai dan Santri Takeran Diculik Pemberontak PKI

Madiun setelah pemberontakan komunis. Anggota pasukan Republik, dipersenjatai dengan senjata otomatis, untuk membawa komunis ditangkap markas mereka di lingkungan atau Madiun. 25-10-1948
Foto:
Jenazah Pimpinan Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948, Muso.

Menurut Anda, apa yang membuat pengikut PKI itu begitu membenci para kiai dan santri sehingga mereka tega membunuhnya?

 

Saat kejadian, saya tak tahu mengapa itu terjadi. Namun, ketika saya mulai besar dan kuliah, saya mulai paham apa dan mengapa peristiwa pembantaian PKI di Madiun terjadi. Apalagi, pesantren kami ini semenjak dahulu adalah basis pergerakan. Leluhur kami adalah seorang pangeran dari Yogyakarta (Pangeran Kertopati) yang ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro. Dan, di pesantren ini pula Masyumi itu digagas. Jadi, lingkungan kami adalah orang yang paham dunia pergerakan.

Nah, setelah lepas dari situasi itu, dan ketika saya mulai kuliah, saya makin paham dengan situasi politik. Mulai tahun 1960-an, agitasi politik dari PKI memang terus menaik tinggi. Dan, sama dengan tahun 1948, agitasi itu juga mulai menargetkan dan menyerang posisi kiai yang katanya jadi bagian tujuh setan desa karena punya tanah luas.

Kalau begitu, peristiwa 1948 terus terbawa-bawa hingga 1965?

 

Peristiwa penculikan di September 1965, di mana anggota PKI menipu kami dengan mengajak Kiai Mursyid berunding dan kemudian menculik dan membunuhnya, itu berbekas di hati. Ketika semakin besar, saya kemudian mencari jawabannya, misalnya dengan memperlajari sejarah revolusi kaum buruh di Rusia atau revolusi Cina yang dipimpin Mao Zedong.

Di situlah saya tahu Muso itu muridnya Lenin, yang lari ke Moskow setelah memecah Syarikat Islam. Dan dari situ pula saya yakin bila partai komunis itu partai yang bersenjata yang siap merebut kekuasaan kapan saja ketika waktunya tiba.

Di desa-desa sekitar Takeran, semenjak perayaan ulang tahun PKI tahun 1964, terdengar seruan bagi-bagi tanah. Sebutan setan desa muncul di mana-mana. Saat itulah kami yakin peristiwa seperti 1948 akan terjadi lagi. Cuma waktunya belum tahu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement