Kamis 12 May 2016 04:57 WIB
Mengingat Kisah Berdarah di Madiun pada Akhir Tahun 1948

Ketika Kiai dan Santri Takeran Diculik Pemberontak PKI

Madiun setelah pemberontakan komunis. Anggota pasukan Republik, dipersenjatai dengan senjata otomatis, untuk membawa komunis ditangkap markas mereka di lingkungan atau Madiun. 25-10-1948
Foto: Gahetna.nl
Madiun setelah pemberontakan komunis. Anggota pasukan Republik, dipersenjatai dengan senjata otomatis, untuk membawa komunis ditangkap markas mereka di lingkungan atau Madiun. 25-10-1948

KH Zakaria (84 tahun) adalah Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqien (PSM) Takeran, Magetan, Jawa Timur. Dia merupakan salah satu saksi mata yang tersisa atas peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948. Ia menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana kiai dan santri pesantren itu dijemput segerombolan orang bersenjata yang memaksa agar mengakui idelogi komunis.

Dalam wawancara yang dilakukan Republika.co.id beberapa bulan silam, KH Zakaria mengatakan, seusai shalat Jumat pada 17 September 1948 pesantrennya didatangi beberapa orang tokoh PKI. Kepala gerombolan penculik dipimpin aktivis PKI Suhud. Mereka datang didampingi para pengawal bersenjata yang dikenali sebagai kepala keamanan di Takeran.

''Ketika menjemput, kepada Kiai Mursyid Suhud menukil ayat Alquran, innalloha laa yughoyirru bi qoumin hatta yughoyiyiru maa bi anfusihim (sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib satu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri). Setelah berkata seperti itu, Kiai Mursyid pun dibawa pergi dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya,'' kata Zakaria seraya mengaku bahwa peristiwa itu dan siapa saja orangnya hingga sekarang masih diingatnya dengan baik.

Zakaria menceritakan, tak cukup menyerbu pesantren PSM Takeran, pada saat itu banyak pesantren lain yang ada di sekitar Madiun dan Magetan yang juga didatangi gerombolan massa PKI pimpinan Muso itu. Salah satu di antara yang diserbu itu adalah Pesantren Tegalrejo, sebuah pesantren tua yang ada tak jauh dari wilayah Takeran.

''Ketika massa PKI sampai di pesantren Tegalrejo itu, pengasuh pondok KH Imam Mulyo ditangkap dan dilempari beberapa granat sembari diancam agar mau tunduk kepada ideologi dan partai mereka. Syukurnya granat itu tak meledak,'' ujar Zakaria.

Karena granat tak meledak, lanjutnya, maka kini ganti para santri yang tadinya diam saja berbalik melawan mereka. Para gerombolan itu ternyata pengecut karena malah lebih memilih lari karena ketakutan. "Mbah Kiai Pesantren Tegalrejo akhirnya bisa lolos dari penculikan,'' ungkap Zakaria. Dia kemudian menerangkan bila masa yang menyerbu pesantren itu berpakaian hitam, bersenjata, dan berikat kepala merah.

Melihat proses penculikan, di kemudian hari Zakaria menyimpulkan bahwa aksi kejam berupa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI pada bulan September tahun 1948 itu bukanlah aksi biasa yang tanpa tujuan. Setidaknya, mereka benar-benar sudah mempersiapkannya dengan matang, dan itu terbukti. Hanya dalam waktu singkat, para pemberontakan tersebut mampu menguasai wilayah yang cukup luas, yakni meliputi Madiun, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Blora, Pati, Cepu, dan Kudus.

''Sebelum meledak, di sekitar Takeran beterbaran aneka pamflet tentang Muso yang baru pulang dari Moskow. Pesantren Takeran dipilih untuk diserbu karena saat itu menjadi tempat atau basis pergerakan Islam. Kiai Mursyid mau diajak berunding karena sudah tahu pesantrennya terancam akan dibakar,'' tegas Zakaria.

Pesantren Takeran merupakan pesantren tua. Didirikan oleh seorang bangsawan atau pangeran dari Keraton Yogyakarta yang merupakan salah satu pengikut Pangeran Diponegoro. Di zaman pergerakan, pesantren yang letaknya di sekitar ladang tebu dan pabrik gula itu menjadi tempat penggodokkan pendirian Partai Masyumi.

Tak jauh dari pesantren itu, di antara lahan perkebunan tebu terdapat lima lubang sumur yang menjadi kuburan pembantaian korban PKI. Di beberapa lubang kini sudah dibangung monumen dan menjadi tempat ziarah para keluarga korban pembantaian.

Dari nama korban yang tertera di dinding lubang pembantaian, tak hanya para kiai dan santri saja yang menjadi korbannya. Para pejabat daerah di seputaran Ngawi dan Madiun, seperti bupati, kepala polisi, residen, pegawai negeri sipil, juga dibunuh dan jasadnya dibenamkan ke dalam sumur yang berada di dekat pabrik gula Rejosari, Kecamatan Kawedanan, Magetan.

Dan ketika dicek di tembok monumen, di sana terpacak 26 nama. Mereka di antaranya bupati Magetan, para anggota kepolisian, patih Magetan, wedana, kepala pengadilan Magetan, kepala penerangan Magetan, lima orang kiai, dan para warga biasa lainnya. Selain itu, masih ada lima sumur lainnya yang juga dipakai sebagai ajang pembantaian. Bila dijumlahkan, seluruh korban pembantaian tercatat ada 114 orang.

Beberapa nama ulama yang ada di monumen itu di antaranya tertulis KH Imam Shofwan. Dia pengasuh Pesantren Thoriqussu'ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan, ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan sempat mengumandangkan azan. Dua putra KH Imam Shofwan, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani, juga menjadi korban dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.

Sedangkan, korban yang berasal dari keluarga Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) Takeran di antaranya adalah guru asal Arab Saudi Hadi Addaba' dan Imam Faham dari Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran. Imam Faham adalah adik dari Muhammad Suhud, paman dari mantan mendiang ketua DPR M Kharis Suhud. Bahkan, pada saat peristiwa terjadi, Kharis Suhud yang saat itu menjadi anggota tentara Siliwiangi adalah orang yang ikut membebaskan wilayah di sekitar pesantren Takeran dari penguasaan gerombolan bersenjata yang merupakan anak buah Musso.

''Beberapa hari, sekitar sepekan, pasukan Mas Kharis datang untuk membebaskan pesantren kami. Saat itu pangkatnya masih letnan,'' kata Zakaria.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement