Jumat 06 May 2016 04:57 WIB
Moro, Kisah Minoritas Muslim di Tengah 'Negeri Katolik' (2)

Moro, Kolonial Spanyol, dan Perang Salib di Kepulauan Melayu

Muslim Mindanao menggelar shalat berjamaah dekat Istana Presiden Filipina di Manila, saat berunjuk rasa menuntut kemerdekaan Bangsa Moro.
Foto:
Muslim Filipina (ilustrasi).

Hasil perang antara orang Spanyol dan orang Islam atau Perang Moro itu telah mengakibatkan ketegangan dan konflik yang terjadi antara orang-orang Kristen dan Islam Filipina. Ekspedisi militer Spanyol menghancurkan komunitas-komuntas Islam dan daerah-daerah pertanian serta ribuan perahu nelayan, mengacaukan penghidupan dan perekonomian kaum petani, nelayan, dan pedagang.

Selama banyak dilakukan ekspedisi, kota-kota Islam yang lebih besar sengaja dikosongkan penduduknya: warga kota tersebut dibinasakan atau diperbudak. Serupa dengan itu, orang-orang Islam menyerang perkampungan-perkampungan pesisir orang Spanyol dan menghancurkannya (ribuan pribumi Kristen dibawa lari untuk dijual di pasar-pasar budak sehingga sebutan orang Moro memperoleh konotasi perompak barbar dan pedagang budak).

Kekuatan motivasi di balik peperangan ini adalah perbedaan agama. Pemerintah kolonial Spanyol dan penguasa gerejawi mengadakan indoktrinasi terhadap kaum pribumi yang dikristenkan, dengan keyakinan bahwa orang-orang Islam adalah "musuh yang mendarah daging" bagi agama baru mereka.

Misa Te Deu  diselenggarakan mengikuti kemenangan-kemenangan besar orang Spanyol. Selama perayaan kemenangan orang Spanyol pada tahun 1637, para Jesuit Spanyol menyajikan sebuah sandiwara Moro-Moro. Kekalahan Islam selalu dimainkan dalam sandiwara ini dan ceritanya sering diakhiri dengan perubahan agama seorang pemimpin Islam atau anak perempuannya jatuh cinta kepada para perwira Spanyol yang berani dan tampan.

Orang Spanyol digambarkan sebagai pria yang mulia, yang menjadi contoh kebijakan Kristen. Sedangkan, orang Moro digambarkan sebagai pria yang buruk, ceroboh, curang, tak dapat dipercaya, dan fanatik. Semua kota besar akhirnya mempertunjukkan sandiwara yang demikian dalam pesta-pesta untuk menghormati orang suci yang dijadikan pelindung mereka.

Sandiwara Moro-Moro menjadi bagian dari aktivitas kultural kota-kota dan dipergunakan sebagai alat propaganda untuk mempromosikan citra negatif dari orang-orang Moro dan semua orang Islam. Sekalipun, setelah kemunduran rezim Spanyol hingga berakhirnya perang Jepang-Amerika, sandiwara ini masih dipertunjukkan di provinsi-provinsi Filipina. Banyak dari generasi Filipina yang lebih tua dapat mengingat dengan jelas; mungkin sikap dari kebanyakan orang Filipina terhadap orang Moro sekarang, telah dibentuk –atau dipengaruhi – oleh gambaran yang ditanamkan dalam diri mereka selama masa kanak-kanak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement