Oleh Mahyudin Purwanto
REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa hari setelah terpilih menjadi khalifah, Umar bin Khattab mengumpulkan anggota masyarakat untuk menyampaikan isi hatinya. Setelah mereka berkumpul, berkatalah Khalifah Umar, ''Dahulu saya berdagang, sekarang kalian memberiku kesibukan menangani urusan ini (mengurus negara). Oleh karena itu, sekarang bagaimana saya memenuhi kebutuhan hidup saya dan keluarga?''
Apa yang disampaikan Amirul Mukminin Umar bin Khattab itu telah membuat para sahabat Rasulullah berpikir. Lalu di antara mereka mengusulkan agar Khalifah Umar mendapat uang tunjangan (gaji) dari Baitul Maal. Mendengar usulan itu, Umar hanya terdiam, hingga akhirnya bertanya kepada sahabatnya yang sekaligus menantu Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib. Kemudian, kata Ali, ''Ambillah uang (dari Baitul Maal) secukupnya untuk keperluan keluargamu.''
Mendengar pendapat sahabatnya Ali bin Abi Thalib, Khalifah Umar pun bersuka-cita menerimanya. Dan, akhirnya uang tunjangan pun diberikan dengan pertimbangan saran tersebut.
Uang tunjangan itu berjalan sekian lama, hingga para sahabat Rasulullah dikejutkan oleh jumlahnya yang sangat kecil buat seorang khalifah yang menjalankan kewajiban sebagai pemimpin dan pengurus masyarakat. Dalam pertemuan di sebuah majelis, mereka pun mengusulkan agar uang tunjangan khalifah ditambah.
Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang berani menyampaikan usulan itu langsung kepada Umar. Hingga, mereka memberanikan diri bertemu dengan Hafshah, putri Khalifah Umar yang sekaligus menjadi istri Nabi Muhammad SAW. Para sahabat meminta kepada Ummul Mukminin Hafshah untuk menyampaikan usulan tersebut dan berpesan untuk tidak menyebutkan nama mereka.
Ketika Hafshah menyampaikan usulan itu kepada ayahnya, wajah Khalifah Umar tampak memerah menahan marah. Kemudian beliau bertanya kepada putrinya, ''Siapakah yang mengajukan usul itu, Putriku?'' Dengan sikap santun dan hormat, Hafshah pun menjawab, ''Berikanlah dulu pendapatmu, Ayah.''
''Seandainya aku tahu nama mereka, niscaya aku pukul wajahnya. Putriku Hafshah, ceritakan kepadaku tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW selama bersamamu!''
Hafshah menjelaskan, ''Rasulullah SAW memiliki sepasang pakaian yang dipakai pada hari Jumat ketika menerima tamu. Makanannya roti yang terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak. Ketika kuoleskan mentega dari kaleng yang mulai kosong, beliau memakannya dengan penuh nikmat dan membagi-bagikannya kepada orang lain. Kala tidur, beliau hanya menggunakan sehelai kain tebal, ketika musim panas dilipat empat dan musim dingin tiba beliau lipat menjadi dua. Separuh sebagai alas tidur dan lainnya untuk selimut.''
Akhirnya Khalifah Umar berkata kepada putrinya, ''Pergilah, dan katakan kepada mereka bahwa Rasulullah mencontohkan pola hidup sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akhirat. Dan, aku akan megikuti jejak langkahnya hingga kelak aku bertemu dengannya.''
Hikmah penting yang bisa dipetik dari kisah Khalifah Umar di atas adalah keteladanan. Yaitu, seorang pemimpin harus menjadi teladan buat yang dipimpinnya, termasuk kehidupan sederhana sebagai tanda empati kepada rakyatnya meskipun negara mampu menyediakan fasilitas yang berlimpah.
Keteladanan Rasulullah SAW itu seharusnya bisa menjadi inspirasi para pejabat negara, bahwa perbuatan nyata mereka akan menyentuh batin dan membuat kesadaran baru bagi masyarakat. Bahwa, amanah yang diemban pejabat bukan sarana mendapatkan fasilitas dan kemudahan, tapi lebih sebagai pengabdian.