REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah, M. Nurul Yamin, mengatakan koruptor dengan perilaku korupsinya dan negara yang tidak berpihak kepada fakir miskin secara teologis dapat dimaknai sebagai "pendusta agama".
"Golongan pendusta agama ini dapat saja bersifat perseorangan, kelompok maupun kelembagaan. Artinya, seseorang atau organisasi dapat saja menjadi "pendusta agama" apabila perilaku sosial ekonominya tidak memihak kepada kaum marjinal," kata Nurul di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (10/3).
Hal tersebut, ia sampaikan dalam diskusi publik oleh Majels Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah dengan topik "Korupsi, Kemiskinan, dan Keberdayaan Umat". Menurutnya, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia antara lain bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Namun, masih terdapat masyarakat dalam keadaan fakir, miskin, dan telantar padahal Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara"," katanya.
Ia mengatakan akan menyedihkan sekali apabila kata "dipelihara" pada Pasal 34 ayat (1) tersebut diarahkan artinya pada mempertahankan eksistensi atau mengembangbiakkan fakir miskin dan anak terlantar atau negara memelihara kemiskinan.
"Namun, kenyataan di masyarakat hal itulah yang terjadi. Kaum miskin semakin bertambah karena tidak adanya program pemberdayaan dan pengentasan terhadap mereka," ucap Nurul.
Dalam kesempatan yang sama, Nurul juga mengatakan dalam pemberantasan tindakan korupsi juga diperlukan pendekatan pemberdayaan masyarakat. "Untuk meminimalkan angka kemiskinan akibat korupsi bukan saja dengan pendekatan pemberantasan model KPK, Kejaksaan, maupun Kepolisian, namun juga diperlukan pendekatan pemberdayaan masyarakat," katanya.
Menurut Nurul, model pendekatan pemberdayaan masyarakat mencakup dua hal penting, yaitu meningkatkan kapasitas perekonomian umat dan menumbuhkan etika keadaban publik sekaligus advokasi terhadap korupsi sebagai perilaku menyimpang.
"Dua hal ini hanya akan efektif dilakukan oleh jaringan kerja masyarakat sipil dalam rangka meningkatkan keberdayaan umat," kata Nurul.