REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cina adalah rumah bagi populasi umat Islam yang cukup besar. Menurut CIA World Factbook, sekitar satu-dua persen dari total penduduk di Cina adalah Muslim. Sensus penduduk pada 2000 menyiratkan terdapat 20 juta Muslim di Cina.
Jumlah itu terungkap terus merangkak dari tahun ke tahun. Studi Pew Research Center pada 2009 menyebutkan, jumlah umat Islam bertambah menjadi 21 juta jiwa atau 1,6 persen dari total populasi dari negara komunis itu. Data itu dikuatkan oleh Administrasi Negara untuk Urusan Agama (SARA).
Dalam dua dekade berikutnya dari 2011, Pew memproyeksikan perlambatan pertumbuhan penduduk Muslim di Cina dibanding dengan tahun sebelumnya. Padahal, Muslimah di Cina memiliki tingkat kesuburan 1,7 persen. Perlambatan tersebut akibat banyak Muslim, khususnya etnis Hui, secara sukarela membatasi kehamilan, cukup satu anak, tapi perlahan kesadaran kontrol populasi itu tumbuh.
Penyebaran domuniasi komunitas Muslim beragam. Konsentrasi tertinggi ditemukan di Provinsi Northwest Xinjiang, Gansu, dan Ningxia dengan populasi signifikan ditemukan sepanjang Provinsi Yunan di barat daya Cina dan Provinsi Henan di Cina Tengah.
Jackie Armijo (2006) dalam bukunya, Islamic Education in China, menyebutkan kelompok-kelompok terbesar dalam urutan, yaitu etnis Hui (9,8 juta pada sensus 2000 atau 48 persen dari jumlah resmi Muslim di Cina), Uighur (8,4 juta atau 41 persen), dan Kazakh (1,25 juta atau 6,1 persen).
Selain itu, Muslim Tibet secara resmi diklasifikasikan sebagai orang-orang Tibet. Muslim Tibet ini tinggal di daerah perbatasan Asia Tengah, Tibet, dan Mongolia, yaitu, Xinjiang, Ningxia, Gansu, dan Qinghai--yang dikenal sebagai Quran Belt.
Namun, satu per satu kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Cina belakangan ini dianggap berpotensi menyudutkan umat Islam dan mendiskriminasikan komunitas Muslim di negara berjuluk Negeri Tirai Bambu itu.
Dilansir dari lawyerherald.com (19/1), pejabat Xinjiang, Cina, mengumumkan akan membuat rancangan undang-undang baru dalam melawan ekstremisme yang mengatasnamakan agama.
Revisi UU tersebut disebut-sebut untuk membendung terorisme. Cina mencatat, terjadi lonjakan kekerasan yang mengatasanamakan Islam sejak 2014. UU baru ini akan dimaksudkan sebagai bahan kampanye dalam melawan terorisme yang terjadi di Cina.