Rabu 10 Feb 2016 11:42 WIB
Islam di Jawa

Akar Gerakan Perlawanan Islam di Jawa (Bagian 3/Habis)

Rep: agung sasongko/ Red: Muhammad Subarkah
Prajurit Kasultanan Yogyakarta.
Foto:
Santri di Jawa. (foto:istimewa/ahetna.nl)

Republika.co.id: Ketika membahas soal Perang Diponegoro dulu, Anda pernah mengatakan semenjak usainya perang ini, selain munculnya pengisapan ekonomi melalui tanam paksa, maka di era itu kemudian muncul kebijakan pemisahan umat Islam oleh kekuasaan kerajaan/pemerintahan kolonial. Salah satunya adalah pemerintah kolonial membuat aturan bahwa para bangsawan keraton tidak boleh lagi melakukan hubungan erat (pernikahan) dengan kalangan pesantren. Bagaimana cerita itu, Prof?

Hermanu: Jadi begini, kebiasaan di kerajaan-kerajaan Jawa itu, raja harus memiliki relasi yang bagus dengan pesantren. Karena dalam pemikiran mereka, kerajaan dan pesantren itu sama-sama darah biru dalam sejarah Islamisasi.

Maka, dari pihak kerajaan selalu menawarkan laki-lakinya untuk dinikahi oleh putri dari pesantren, dan sebaliknya selalu begitu. Bahkan, Pakubuwono I itu salah satu anak dari Pesantren Kajoran.

Nah, proses-proses begitu yang selalu berkorelasi. Namun, keadaan berubah setelah usainya proses Perang Jawa atau Perang Diponegoro ini. Relasi keraton dengan pesantren diputus. Bahkan, kemudian muncul kebijakan yang lebh tegas lagi yang menegaskan bahwa jangan sampai unsur kekuasaan yang ada di kerajaan, dimasuki unsur-unsur (pemikiran) yang memberi angin kepada pesantreni.

Republika.co.id: Adakah dengan demikian, karena pesantren dan umat Islam dimarginalkan, maka semangat perlawanan umat Islam semakin keras menyala di Jawa?

Hermanu: Iya, memang begitu adanya.

Republika.co.id: Apakah semangat perlawanan tersebut diam-diam masih berkobar sampai sekarang?

Hermanu: Iya, memang. Hal ini karena begini. Kita tahu ulama itu adalah cultural proper. Jadi, dia melayani masyarakat sebagai pemimpin agama, sekaligus pemimpin politik. Penggabungan kekuatan ini jelas menjadikan posis kiai atau ulama menjadi sesuatu yang hebat.

Dan, di kalangan masyarakat pesantren, adanya dua hal itulah (posisi sebagai pelayan umat dan pemimpin politik), itulah yang kemudian juga membuat posisi seorang kiai begitu dihormati oleh masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement