REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring pudarnya kejayaan Islam berdampak pada peradaban di Andalusia. Pada puncak kejayaannya, Iberia menjadi rumah bagi lebih lima juta Muslim, mayoritas penghuni pulau tersebut. Para pengasa Muslim membangun sistem kemasyarakatan yang maju, berdasarkan agama dan pengetahuan.
Pada tahun 900-an, Ibukota Muslim Spanyol, Cordoba, telah menghaluskan jalan-jalannya, mendirikan rumah sakit, dan kota memiliki penerangan jalan. Pada masa itu penulis-penulis Cordoba mampu memproduksi 6.000 buku per tahun, bandingkan dengan perpustakaan Kristen Eropa yang hanya dapat memproduksi 600 buku.
Masyarakat Iberia saat itu hidup dengan damai, walau di dalamnya tidak hanya Muslim, melainkan terdapat pula Yahudi dan umat Kristiani yang hidup berdampingan. Peradaban layaknya surga itu mengalami akhir yang tragis.
Monarki Spanyol, mulai abad ke-11 hingga ke-15, melakukan penaklukkan. Muslim Spanyol terpinggirkan, termarginalkan. Hingga pada 1492, negara Islam terakhir di Iberia, Granada, runtuh. Muslim Spanyol menghadapi mimpi buruk.
Kejatuhan Granada awalnya dianggap sebagai fase, keruntuhan sementara. Muslim Iberia berpikir tak lama lagi tentara-tentara Muslim dari Afrika akan datang dan merebut kembali tanah Granada, mendirikan lagi negara Muslim. Namun monarki yang dipimpin Ferdinand dan Isabella memiliki rencana lain. Mereka memperjelas niat kekuasaan dalam bidang agama sejak awal.
Pada Maret 1492, kerajaan mengusir Yahudi dari negara itu. Ribuan Yahudi dipaksa pergi, dan Kesultanan Ottoman menerima sebagian besar dari mereka. Sultan Bayezid II mengirimkan seluruh armada lautnya ke Spanyol, menjemput mereka yang hendak dilenyapkan kerajaan Spanyol.
Tidak berbeda dengan kaum Yahudi, Muslim pun dihadapkan dengan tekanan dari kerajaan. Muslim dipaksa berpindah agama. Awalnya mereka disogok dengan kemewahan. Cara tersebut ternyata gagal, karena setelah mendapatkan harta, Muslim kembali lagi pada agama mereka.
Sumber: lostislamichistory