Sabtu 06 Feb 2016 12:41 WIB

Akar 'Gerakan Perlawanan Islam' di Jawa (Bagian 1)

Rep: agung sasongko/ Red: Muhammad Subarkah
 Prof Hermanu Joebagio, Guru Besar Sejarah Islam UNS.
Foto:

Republika.co.id: Jadi yang dipertanyakan kami kemudian, kenapa proses radikal dulu itu berasal dari atas ke bawah sekarang bawah ke atas? Apa sebabnya? Apa masyarakat kita sakit?

Hermanu: Saya mengatakan begitu. Masyarakat kita menjadi sangat miskin. Orang-orang yang miskin itu pasti larinya ke sana. Hanya persoalannya, masyarakat yang kecil itu, yang miskin itu, kemudian dipermainkan oleh elit agama.

Hal inilah yang saya tidak bisa menerima persoalan ini. Kenapa justru masyarakat yang tak berdaya atau miskin, yang berada di tataran paling bawah itu malah tidak berusaha diberdayakan untuk menjadi manusia yang bermartabat. Itu persoalan-persoalan yang sekarang harus dipikirkan, dan negara sampai saat ini dalam konteks seperti ini tidak berpikir menuju ke sana.

Republika.co.id: Kira-kira kapan proses radikalisasi Islam di Jawa tumbuh semakin nayata? Apakah bisa dikatakan semakin kuat ketika Jawa (Mataram Islam) di bawah kekuasaan Pakubuwono IV? Atukah sudah muncul dari era para penguasa sebelumnya?

Hermanu:  Sebenarnya pemikiran dan sikap Sunan Amangkurat II itu hampir sama dengan Amangkurat I. Keduanya melihat bahwa kelompok agama, kemudian elit agama termasuk santri, itu yang menghalangi kekuasaan dia. Nah karena mereka dianggap menghalangi kekuasaan, maka para kiai (ulama) dan santrinya harus dibunuh.

Nah inilah yang menjadi persoalan-persoalan sebenarnya serta membuat riskan bagi kita. Pada masa Amangkurat II seluruh pusat-pusat keagamaan itu dihancurkan. Ini menunjukkan ketika dia menghancurkan pusat keagamaan secara tidak langsung dia menghancurkan pusat-pusat pendidikan, itu yang menjadi problem sangat serius.

Dan hancurnya pusat keagamaan itu terus berlanjut hingga masa Pakubuwono VI. Ketika dia melawan Belanda, kemudian pesantren-pesantren dihancurkan juga. Nah itulah yang kemudian yang bagi saya membuat suatu pertanyaan kenapa pemerintah tidak mencoba menyelesaikan permasalahan gerakan radikal ini dengan cara empowering, dengan capacity building.

Padah kedua hal itu perlu. Para ahli priskologi teroris menyatakan ketika kemudian ada seseorang dicuci otaknya, kemudian menuju garis lurus bersedia untuk melakukan kematian (bunuh diri), maka ketika sebelum itu terjadi si korban cuci otak itu kemudian dimasukkan ke suatu ruangan untuk dilakukan tindakan empowering dan capacity building, maka kemudian dia bisa menjadi manusia yang bermartabat.

Nah, sekarang kita memilih itu atau kita memilih menghancurkan mereka? Itulah persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement