Sabtu 06 Feb 2016 12:41 WIB

Akar 'Gerakan Perlawanan Islam' di Jawa (Bagian 1)

Rep: agung sasongko/ Red: Muhammad Subarkah
 Prof Hermanu Joebagio, Guru Besar Sejarah Islam UNS.
Foto:
Prof Hermanu Joebagio, Guru Besar Sejarah Islam UNS.

Republika.co.id:Jadi begini Profesor kita bicara soal radikalisme di Islam Jawa. Belakangan ini ada data BNPT yang menyatakan, basis radikal itu Solo, Jogja, Boyolali, dan Jawa Tengah. Sebenarnya kalau dirunut itu dari mana asal usul radikalisme Islam di Jawa?

Hermanu: Kalau kita melihat di beberapa literatur, proses Islamisasi itu ada beberapa proses radikal untuk merebut kekuasaan. Jadi ketika proses Islamisasi, orang Islam baik itu dari Arab maupun Cina, berusaha merebut kekuasaan dari orang pribumi. Itu awal radikalisme. Kemudian dalam perjalanannya, proses radikal terus berjalan. Ketika muncul kerajaan Demak. Kerajaan Demak itu ada proses radikalisasi ulama-ulama terhadap kelompok Syekh Siti Jenar, itu radikalisasi yang kedua.

Kalau saya merunut Syekh Siti Jenar, dia berasal dari Yaman, dan dia punya keagamaan yang begitu bagus tetapi dia tidak setuju bahwa ulama itu melakukan praktek politik kekuasaan. Itu tuh dia tidak setuju. Karena itu timbul suatu stigma terhadap Syekh Siti Djenar, bahwa Syekh Siti Jenar menganut dan menyebarkah filosofi wahdatul wujud. Nah itu yang kedua.

Kemudian yang ketiga, pada masa Sultan Agung, stigma terhadap orang suci kemudian dianggap sebagai proses radikalisasi. Nah itu yang paling berbahaya dalam konteks masa lalu, di mana elit itu selalu menstigma orang suci, ulama, melakukan gerakan yang kemudian disebut wahdatul wujud itu. Itulah yang kemudian saya anggap sebagai hal atau pemikiran paling bahaya.

Kenyataan tersebut (elite adalah pihak yang membuat stigma, red) bisa terlihat di dalam Serat Cebolek yang menceritakan mengenai bagaimana Kyai Haji Ahmad Mutamakkin itu distigma pihak kraton (kekuasaan) bahwa dia melakukan ajaran sesat. Jadi saya bisa menafsirkan itu stigma radikal itu justru muncul dari elite. Bukan dari tokoh agama. Nah yang konteks dari sekarang itu berbeda, justru radikal itu muncul dari bawah. Jadi pertanyaan saya ada persoalan apa ini...?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement