Senin 25 Jan 2016 18:52 WIB

Wajah Muslim Prancis dan Charlie Hebdo

Rep: Maniarti/ Red: Agung Sasongko
Muslim Prancis
Muslim Prancis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bayang-bayang ekstremisme yang mengatasnamakan agama menghantui Paris. Tahun ini, tepat satu tahun pascapenyerangan Charlie Hebdo.

Awal 2015 lalu, 7 Januari 2015, dunia dikejutkan dengan adanya aksi penyerangan ke kantor Charlie Hebdo, majalah satire di Paris, Prancis. Insiden ini konon disebut-sebut sebagai penyerangan terhadap insan media paling dahsyat sejak peristiwa Aljazair lima dekade lalu.

Aksi penyerangan majalah satire Charlie Hebdo ini tak elak memicu reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Indonesia. Charlie Hebdo dikenal sebagai media anti-Islam. Dalam salah satu edisi, Charlie Hebdo sempat menggambar kartun Nabi Muhammad. Karikatur inilah yang diindikasikan sebagai pemicu penyerangan.

Serangan dilakukan oleh tiga orang, yakni Said Kouachi (34), Cherif Kouachi (33), dan Hamyd Mourad (18). Mereka diketahui adalah warga Prancis keturunan Aljazair. Akibat aksi penyerangan ini, sebanyak 12 orang dinyatakan tewas dan belasan orang lainnya luka-luka. Salah satu korban tewas ialah Stephane Charbonnier alias Charb, pemimpin redaksi Charlie Hebdo.

Peristiwa ini diakui atau tidak memunculkan dua sisi mata uang, saling bersandingan, positif dan negatif. Pew Research Center merilis sikap warga Prancis terhadap Muslim justru menjadi positif setelah enam bulan pascaserangan tersebut.

Pew Research menyebutkan, 76 persen warga Prancis memiliki pandangan yang baik kepada Muslim yang tinggal di negara mereka. Sementara itu, jumlah umat Muslim naik 14 persen dari tahun lalu menjadi 25 persen saat ini.

Menurut Pew Research Center, pola yang terjadi di Paris sama seperti yang terjadi di AS pascaserangan WTC 11 September. Sentimen positif terhadap Muslim di kedua negara ini justru meningkat setelah adanya aksi terorisme.

Kendati demikian, Pew Research Center juga menyebutkan, sentimen negatif terhadap Muslim juga tumbuh subur pascaserangan Charlie Hebdo. Jumlah populasi Muslim yang minoritas menempatkan mereka dalam posisi yang rentan mendapatkan diskriminasi dan aksi-aksi kekerasan, seperti penyerangan masjid, ancaman pembunuhan terhadap wanita berkerudung, hingga pelarangan siswi Muslimah menggunakan rok panjang.

Bahkan, The National Observatory Againts Islamophobia pada Anadolu Agency (5/7) tahun lalu merilis bahwa Islamofobia meningkat hingga 23,5 persen enam bulan pascaserangan Charlie Hebdo. Angka ini mengalami lonjakan mencapai 500 persen di bandingkan pada periode awal 2011.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement