REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Pada awal tahun 2016 Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan per September 2014 sebesar 27,73 juta jiwa, sedangkan di bulan September 2015 meningkat menjadi 28,51 juta jiwa. Itu artinya kemiskinan di Indonesia pada September 2015 bertambah 780 ribu jiwa bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Jumlah penduduk miskin paling banyak ada di Pulau Jawa, sebesar 15,31 juta jiwa. Sementara sisanya tersebar di Sumatera 6,31 juta jiwa, Bali dan Nusa Tenggara 2,18 juta jiwa, Pulau Sulawesi 2,19 juta jiwa, Maluku 1,53 juta jiwa, dan Kalimantan sebesar 0,99 juta jiwa. Sementara itu, alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2015 untuk pengentasan kemiskinan yang berada di Kementerian Sosial sebesar Rp 14 triliun.
Berdasarkan hasil riset BAZNAS dan IPB, potensi zakat secara nasional ditaksir mencapai Rp 217 triliun setiap tahun. Angka itu dilihat berdasarkan produk domestik bruto (PDB). Ketika PDB naik, maka potensi zakat juga bergerak. Jadi, itu didasarkan pada PDB tahun 2010. Padahal setiap tahun PDB bergerak naik. Kalau memperhitungkan pertumbuhan PDB tahun-tahun sesudahnya, maka tahun ini potensi zakat berubah menjadi sekitar Rp 274 triliun. Potensinya besar sekali.
Dengan angka tersebut, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim, bisa mempunyai dampak yang luar biasa dalam mengentaskan kemiskinan. Namun edukasi yang minim mengenai zakat, infak maupun sedekah menjadi hambatan dalam pengumpulan ziswaf itu sendiri. Hal itu pula membuat masyarakat kebingungan untuk mendistribusikan zakat sehingga masih banyak masyarakat yang memilih untuk mendistribusikannya secara pribadi daripada menyalurkannya terlebih dahulu ke suatu lembaga.