REPUBLIKA.CO.ID, Tawasul, atau berwasilah kepada Rasulullah SAW termasuk salah satu persoalan klasik dan masih dibicarakang dengan hangat, bahkan memanas belakangan ini. Oleh sebagian kalangan, permasalahan tawasul dijadikan sebagai senjata untuk memvonis syirik yang mendekati pada zona kekufuran. Benarkah demikian?
Topik tentang tawasul, turut menyedot pula perhatian Lembaga Fatwa Dar al-Ifta’ Mesir. Lembaga fatwa resmi negara berjuluk seribu menara itu, prihatin dengan sikap ketidakdewasaan sejumlah pihak yang cenderung mengafirkan saudara Muslim pendukung diperbolehkannya tawasul. Padahal, lembaga yang pernah digawangi oleh Syekh Ali Jumah itu menegaskan, tawasul kepada Rasulullah boleh dilakukan. Ini menjadi kesepakatan para ulama mazhab.
Lembaga ini berargumentasi dengan sejumlah dalil antara lain ayat ke 64 surah an-Nisa’. “Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha penerima tobat lagi Mahapenyayang.
Sedangkan dalil lain dari hadis, seperti riwayat Usman bin Hanif yang dinukilkan oleh Imam at-Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah. Dalam hadis itu, Rasul mengatakan ke sahabat yang meminta doa kepada Rasulullah. Rasul memberikan pilihan, bisa saja permintaan sahabat itu dikabulkan. Lalu, Rasul memberikan anjuran untuk berdoa, dengan redaksi doa menyertakan kalimat wa atawajjahu ila’ika binabiyyika Muhammad (saya menghadap kepada-Mu ya Allah, dengan perantaran Nabi-Mu, Muhammad).
Imam Ahmad bin Hanbal, seperti dinukilkan oleh al-Maruzi pernah mengatakan, jika memiliki hajat tertentu maka mintalah kepada Allah dan perkuat dengan bertawasul atas kemuliaan Rasulullah. “Niscaya Allah akan kabulkan,”katanya. Bahkan, dalam kitab al-‘Ilal wa wa Ma’rifat ar-Rijal, Ahmad bin Hanbal tidak mempermasalahkan tabaruk (mengharap keberkahan) dengan mencium dan memegang makam Rasulullah.
Oleh Ibnu Taimiyah, nukilan ini dipakai sebagai sanggahan terhadap al-Akhanai. Ini akibat tudingan yang disematkan kepada Ibnu Tamiyyah, bahwa dirinya melarang bertawasul kepada Rasulullah. Ini ditegaskan pula dalam magnum opus kompilasi fatwanya, yakni Majmu’ al-Fatawa. Bertawasul kepada Rasul adalah berdoa agar mendapatkan syafaatnya yang telah dijanjikan. Tokoh terkemuka dari Mazhab Hanbali, yakni Ibnu Quddamah juga berpendapat bertawasul kepada Rasulullah boleh dilakukan. Ini seperti penegasannya dalam kumpulan wasiat yang ia tulis.
Menurut Imam Ibn al-Hajj al-Abdari, salah seorang pemuka Mazhab Maliki, bertawasul kepada Nabi dianggap sebagai cara yang tepat untuk menghapuskan dosa. Ini tak terlepas dari keagungan dan syafaat yang dimiliki oleh Nabi akhir zamant tersebut. Karenanya, ia mengingatkan agar siapapun yang berziarah ke makam Rasulullah, tidak lupa berdoa dengan menyebut keagungan Rasul. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafii.