Selasa 28 Oct 2025 08:51 WIB

Tim Mesir Masuk Gaza

Tim Mesir membawa alat berat untuk evakuasi jenazah terkubur di reruntuhan Gaza.

Suasana pencarian jenazah sandera Israel yang terkubur di Khan Younis, Jalur Gaza, Jumat (17/10/2025).
Foto: Muhammad Rabah/Dok Republika
Suasana pencarian jenazah sandera Israel yang terkubur di Khan Younis, Jalur Gaza, Jumat (17/10/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Israel mengotorisasi Mesir untuk masuk ke Jalur Gaza. Para relawan Negeri Piramida akan membantu warga Gaza menemukan mayat yang terkubur di bawah reruntuhan akibat pemboman Israel.

Otorisasi tersebut muncul di tengah spekulasi bahwa pemerintah Netanyahu bertindak di bawah tekanan AS untuk memungkinkan peran Mesir dalam penerapan aspek-aspek tertentu dari perjanjian gencatan senjata.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Baca Juga

Juru bicara pemerintah Israel Shosh Bedrosian mengatakan Netanyahu secara pribadi telah menyetujui kedatangan tim Mesir yang membantu pencarian jenazah para sandera Israel yang menurut Hamas hilang di reruntuhan wilayah Palestina yang hancur, sebagaimana diberitakan The Arab Wekly pada Senin (27/10/2025).

Rekaman menunjukkan konvoi Mesir di Gaza membawa tim penyelamat dan alat berat untuk mempercepat pencarian sisa-sisa sandera yang terbunuh. “Sekarang ini hanya tim teknis saja, dan tidak ada satupun personel yang berasal dari militer,” ujarnya.

“Tim diizinkan masuk melewati posisi Garis Kuning IDF (Pasukan Pertahanan Israel) ke wilayah Gaza untuk melakukan pencarian sandera kami.”

Garis kuning adalah batas imajiner yang ditetapkan oleh militer Israel sebagai penanda batas penarikan pasukan mereka pada tahap pertama perjanjian gencatan senjata. Berdasarkan kesepakatan yang dimediasi oleh Amerika Serikat dan beberapa negara lain, Israel menarik sebagian pasukannya ke belakang garis ini, yang pada dasarnya membagi wilayah Jalur Gaza.

Wilayah di belakang garis ini tetap berada di bawah kendali pasukan Israel, sementara wilayah di depannya seharusnya menjadi zona aman bagi warga Palestina. Namun, penentuan garis ini masih menimbulkan kontroversi karena Israel dituduh menguasai wilayah lebih dalam dari yang disepakati.

Meskipun bertujuan sebagai pemisah, 'garis kuning' ini telah berubah menjadi zona yang sangat berbahaya dan mematikan bagi warga sipil Palestina. Warga Gaza melaporkan bahwa tentara Israel menembak siapa pun yang mendekati garis tersebut, meskipun tanpa peringatan, yang menyebabkan puluhan korban jiwa sejak gencatan senjata berlaku.

Parahnya lagi, garis ini tidak ditandai dengan jelas di lapangan, sehingga warga sipil kesulitan membedakan mana area aman dan mana yang berbahaya, terutama di tengah puing-puing sisa serangan. Akibatnya, alih-alih menjadi simbol perdamaian, 'garis kuning' ini justru menjadi sumber ketidakpastian dan ancaman, serta menjadi dalih bagi Israel untuk terus melakukan serangan.

Dalam sebagian besar pengumumannya baru-baru ini, Trump tampaknya memutuskan sendiri apa yang paling baik untuk memajukan fase berikutnya dari rencana perdamaiannya, tanpa menyebutkan konsultasi sebelumnya dengan Israel.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement