Jumat 15 Jan 2016 13:36 WIB

Ali Pun Heran dengan Orang Kikir

Ali bin Abi Thalib adalah khalifah yang cakap di militer, walau bukan politikus ulung.
Foto: NET
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah yang cakap di militer, walau bukan politikus ulung.

REPUBLIKA.CO.ID,   Ketika menjadi khalifah, Sayidina Abu Bakar Siddiq pernah memerangi orang-orang yang menolak untuk melaksanakan kewajiban membayar zakat. Bagi sang khalifah, apabila penolakan itu dibiarkan maka ketaatan umat Islam terhadap ajaran Rasulullah SAW dan Allah SWT akan semakin menipis. Penolakan itu juga menunjukkan bahwa mereka masih menyimpan salah satu sifat yang tercela, yakni kikir.

Kikir jelas merupakan sifat yang nyata-nyata dikecam oleh Allah SWT. Firman-Nya, ''Ingatlah, kalian adalah orang-orang yang diminta untuk menafkahkan sebagian harta kalian di jalan Allah, namun di antara kalian terdapat orang-orang yang bakhil. Siapa pun yang bersikap bakhil (kikir), maka sesungguhnya ia bakhil (kikir) terhadap dirinya sendiri, sebab Allah Mahakaya dan kalian adalah orang-orang miskin.'' (Muhammad: 38).

Dari ayat di atas jelaslah bahwa orang-orang kikir adalah mereka yang mempunyai harta, namun ketika diminta untuk menafkahkan sebagiannya di jalan Allah, mereka menolak. Menafkahkan harta di jalan Allah itu macam-macam, antara lain, zakat, infak, sedekah, dan memberi makan anak yatim-piatu. Padahal, Allah SWT telah menjamin bahwa segala sesuatu yang diinfakkan dalam kerangka fi sabilillahtidak akan menjadi perbuatan yang sia-sia. ''Apa pun yang kalian infakkan, maka Dia (Allah) akan menggantikannya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki." (Saba: 39).

Ada beberapa penyebab tertentu dari kekikiran. Di antaranya adalah takut miskin.

Mengenai hal ini, Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan, ''Aku heran dengan orang yang kikir karena ia hanya mempercepat laju kemiskinannya, padahal ia berusaha lari dari kemiskinan. Ia kehilangan kesenangan hidup yang ia dambakan (karena tidak menikmati hartanya akibat kebakhilannya). Ia hidup seperti orang yang miskin, namun ia harus mempertanggungjawabkan hartanya pada hari kiamat seperti orang kaya.''

Motif lain dari kekikiran adalah sikap berlebihan atau kekhawatiran berlebihan terhadap masa depan keluarga. Orang yang demikian lebih suka menabung seluruh uangnya untuk masa depan anak-anak/keluarga daripada menginfakkan sebagian daripadanya di jalan Allah. Mereka berkeyakinan, harta akan dapat melindungi masa depan anak-anaknya. Padahal, Alquran telah memberi petunjuk bahwa kekayaan dan anak-anak hanyalah cobaan/fitnah. (Al-Anfal: 28). 

Motif berikutnya dari kekikiran adalah cinta harta secara berlebihan tanpa menganggapnya sebagai sarana ibadah. Mereka ini mengira bahwa zakat, infak, dan sedekah akan mengurangi hartanya. Padahal, Allahlah penetap segala rezeki.

Sebagai individu yang hidup di tengah masyarakat, sifat kikir pasti mempunyai konsekuensi yang bisa merugikan diri sendiri. Minimal ada dua kerugian bagi orang yang kikir. Pertama, kerugian ketika di dunia, yaitu menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian di antara orang-orang dekat dan warga sekitar di mana ia tinggal. Paling tidak kikir telah menimbulkan rasa tidak senang pada orang lain. Selain itu, orang yang kikir adalah orang yang letih. Ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menimbun kekayaan, namun ia tidak menikmati hartanya. Karena, ahli warisnyalah yang akan menikmatinya. 

Kedua, kerugian yang diterima pada hari pembalasan nanti. Yakni, orang yang kikir akan mempertanggungjawabkan harta kekayaannya pada hari akhir nanti layaknya orang kaya. Padahal, seperti yang telah disebutkan bahwa ia hidup di dunia ini layaknya orang miskin yang terus-menerus mengejar harta, namun ia tidak menikmatinya.

(Baca: Tiga Sedekah Selain Uang).

 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement