Sabtu 02 Jan 2016 18:38 WIB

Kakek Penanda Waktu

Shalat berjamaah di sebuah masjid (ilustrasi).
Foto: Republika/Musiron
Shalat berjamaah di sebuah masjid (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Yunahar Ilyas

Walaupun umurnya sudah mendekati 70 tahun, badannya masih tegap. Kalau berjalan masih cepat seperti kebiasaannya sejak muda. Setiap pagi setelah shalat Subuh, sang kakek rutin jalan pagi menempuh jarak enam sampai delapan kilometer pulang pergi.

Menurut pengakuannya, waktu muda sang kakek suka main sepak bola, bergabung dengan klub sepak bola di kampungnya.

Setelah menamatkan pendidikan setingkat sekolah lanjutan pertama, dia mulai berdagang walaupun bapaknya sebenarnya menginginkan dia meneruskan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi, minimal setingkat sekolah lanjutan atas.

Sebagai seorang pedagang yang sukses, bapaknya sanggup membiayai pendidikannya sampai ke perguruan tinggi. Tetapi rupanya, darah dagang bapaknya lebih menonjol memengaruhi dirinya.

Mula-mula dia berdagang di kota tempat kelahirannya, kemudian merantau, berpindah dari satu kota ke kota lainnya di pulau Sumatra, kemudian ke Singapura dan Malaysia. Pada akhir masa-masanya berdagang, sempat juga dia merasakan bagaimana kerasnya kehidupan di Kota Jakarta.

Sudah lebih 10 tahun sang kakek pensiun dari berdagang dan menetap di kampung halamannya. Hari-hari tuanya benar-benar dia nikmati untuk beribadah.

Hidupnya hanya bergerak dari rumah ke masjid. Setelah selesai shalat malam, dia bersiap pergi ke masjid untuk shalat Subuh. Selesai shalat Subuh, kalau tidak ada pengajian, dia bergegas pulang berganti pakaian olahraga, terus jalan pagi.

Sebelum waktu Zhuhur dia sudah berjalan menuju masjid, begitu juga sebelum Ashar dan Maghrib. Setelah Maghrib dia tidak pulang, membaca Alquran dan berzikir di masjid menunggu Isya.

Kadang kala antara Maghrib dan Isya ada pengajian maka sang kakek akan mengikutinya dengan tekun. Para mubaligh yang rutin mengisi pengajian di masjid itu sudah hafal dengan wajah sang kakek.

Kalau shalat dia selalu di saf pertama, mengambil posisi tidak tepat di belakang imam, tetapi agak ke kiri sedikit. Jamaah lain pun sudah hafal posisi sang kakek sehingga tidak ada yang mengambil posisi itu.

Kalaupun ada yang akan mengambil posisi itu, biasanya kalah cepat dari sang kakek karena dia sudah berada di sana sebelum waktu shalat masuk.

Seisi rumah, apalagi cucu-cucunya, sudah hafal. Jika sang kakek sudah sibuk ke kamar mandi pertanda tidak lama lagi waktu shalat akan masuk. Sebelum meninggalkan rumah, tidak lupa sang kakek mengingatkan sesisi rumah untuk segera bersiap-siap melaksanakan shalat.

Terutama sebelum Ashar dan Maghrib, tatkala cucu-cucunya masih asyik menonton televisi, akan terdengar suara kakek, “Ayoo semua, shalat… shalat… matikan TV!”

Tidak jarang cucunya menjawab, “Belum azan, Kakek… waktunya masih lama.” Jika cucu-cucunya masih membandel, tidak  jarang kakek mematikan televisi. Baginya, shalat pada awal waktu lebih penting dari semua acara televisi itu.

Jarak dari rumah sang kakek ke masjid sekitar setengah kilometer, melewati jalan yang kiri kanannya penuh warung dan toko. Penjaga warung dan toko sudah sangat hafal, jika sang kakek lewat di depan warung dan toko mereka menuju arah masjid, berarti waktu shalat sudah hampir masuk.

Sang kakek dijadikan sebagai penanda waktu-waktu shalat akan masuk. Setelah sang kakek meninggal dunia, tidak ada lagi orang lewat di depan warung dan toko yang bisa dijadikan penanda waktu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement