Sabtu 26 Dec 2015 16:52 WIB

Menuju Bisnis Halal, Bisnis yang Bermoral

Rep: Pusat Data Republika/ Red: Agung Sasongko
Aplikasi glosarium wisata halal Crescentrating
Foto: Urdua.com/ca
Banyak hadis shahih yang meriwayatkan keutamaan mimpi berjumpa Rasulullah SAW.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan wakil menteri agama Nasaruddin Umar menjelaskan, bicara halal jangan membuat umat Islam terkungkung. Sebab, dalam Islam, yang dikategorikan haram lebih sedikit dari yang halal. Dalam bisnis, halal jangan menjadi pembatas kreasi.

Halal berarti benang kusut yang terbuka, haram justru tertutup (terbatas). ''Islam punya kaidah semua hal boleh kecuali hal-hal yang disebutkan haram. Jual-beli apa pun boleh kecuali riba dan barang tidak halal,'' kata Nasaruddin.

Perilaku bisnis halal juga terletak pada moralitas. Apa pun yang secara rasional baik, pada umumnya sesuai dengan nilai Islam. Rasulullah memberi kebebasan berkreasi, tetapi jangan akhirnya memudah-mudahkan.

''Intinya, yang halal adalah yang rasional dan baik secara umum. Haram yang sebaliknya, yang buruk dan secara moralitas berdampak negatif,'' kata Nasaruddin.

Allah SWT tidak membutuhkan halal-haram, tetapi manusia yang butuh itu untuk menunjang hidupnya. Titik tekannya pada moralitas. Kendali utama soal halam-haram ada pada diri sendiri. Karena itu, Quran banyak bicara soal keluarga dan individu.

Ia sepakat, saat muncul keraguan dalam menjalankan bisnis, berikan kompensasi. Ia menilai wajar jika manusia ragu. Saat sadar ada yang salah, balas dengan kompensasi berupa kebaikan. Keburukan masa lalu akan tenggelam dengan kebaikan yang berkesinambungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement