REPUBLIKA.CO.ID, Sihir bernama Islamofobia yang mulai merambati benak sebagian bangsa Barat sejak peristiwa serangan gedung WTC, New York pada 11 September 2001 ternyata tak lekang oleh apapun. Stereotipe terhadap umat Muslim sebagai kelompok garis keras yang mengandalkan cara-cara kekerasan memunculkan semacam pola ketakutan absurd.
Mantra ketakutan ditiupkan kembali bersama aksi penyerangan majalah satir anti-Islam Charlie Hebdo di Paris, Prancis, Rabu (7/1) yang menewaskan 12 orang dan melukai puluhan orang lainnya.
Para pelaku yang teridentifikasi sebagai migran Muslim membuat isu Islamofobia dihembuskan kembali. Tanda pagar (tagar) #JeSuisCharlie di Twitter menjadi semacam gong pembuka tahun yang dipenuhi sinisme terhadap Islam.
Setelah isu Charlie Hebdo mereda, sosok Ahmed Mohamed, bocah Muslim berusia 14 tahun di Texas, Amerika Serikat menjadi perbincangan hangat di media sosial. Ia dicurigai membawa bom ke sekolah karena sang guru mengira jam digital buatannya mencurigakan.
Guru sekolah justru memanggil polisi untuk menangkap Ahmed dan dibawa ke pusat penahanan remaja untuk menjalani interogasi. Peristiwa ini pun menjadi topik hangat di media sosial. Tagar #IStandWithAhmed bertebaran di Twitter. Ada yang prihatin, marah, kesal, dan membuat guyonan satire terhadap ketidakadilan yang dialami Ahmed.
Pemerintah AS melalui badan antariksa NASA meredamnya dengan menawarkan sejumlah fasilitas pendidikan bagi Ahmed. Meski Presiden Barack Obama dan warga AS mulai terlatih menjaga harmonisasi antara warga Muslim dan non-Muslim setelah peristiwa 9/11, gelombang sihir Islamofobia justru muncul dari dua kandidat calon presiden paling populer dari Partai Republik, Donald Trump dan Ben Carson.
Pernyataan-pernyataan dari kedua orang tersebut yang memojokkan umat Islam, seperti larangan untuk seorang Muslim menjadi presiden hingga melarang umat Islam masuk ke AS dinilai gabungan dari rasa frustrasi, kekesalan dan kemarahan atas apa yang banyak orang lihat sebagai peningkatan gelombang Islamofobia.
Islamofobia seakan kembali berkelibat ke dalam benak bangsa Barat melalui letupan-letupan kecil dalam kehidupan sehari-hari yang dikemas dalam woro-woro di media sosial. Bahkan mayoritas dari Muslim AS yang jumlahnya mencapai 2,8 juta jiwa menilai bahwa ketegangan-ketegangan semacam itu dapat memburuk dalam pemilihan presiden yang mereka takutkan akan memicu kemarahan dan sikap fanatik.
Meski hukum Konstitusi AS melarang tes agama bagi mereka yang ingin menjadi pejabat publik, politik agama dan kepresidenan masih menjadi campuran yang mudah meledak.