Senin 21 Dec 2015 16:35 WIB

Masyarakat Dinilai Sudah tidak Malu Bercerai

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Andi Nur Aminah
Sidang perceraian di Pengadilan Agama (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sidang perceraian di Pengadilan Agama (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sosial keagamaan dari UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai terdapat sejumlah faktor yang turut mendorong tingginya angka perceraian Muslim di Indonesia. Azyumardi mengaku ada hubungan sikap keagamaan dengan sikap kebudayaan dalam memicu perceraian. "Perceraian dianggap bukan sesuatu yang memalukan dan perlu dihindari lagi," kata Azyumardi, Senin (21/12).

Azyumardi menilai faktor perkawinan usia muda dan praktik perjodohan (//force married//) lebih rentan memunculkan perceraian. Menurutnya, perkawinan model tersebut cenderung tidak stabil baik secara emosional dan dukungan ekonomi.  Selain itu, ada pula faktor urbanisasi dan peningkatan kembali angka poligami pasca era Orde Baru yang turut menyebabkan gangguan dalam bahtera keluarga.

Azyumardi mengatakan, gejala perceraian sejatinya menurun pada periode 1974-2000. Ia menilai, itu terjadi karena faktor pemerintah Orde Baru yang mengatur ketat praktik poligami di kalangan PNS. Angka perceraian terus meningkat di era reformasi. Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung bahkan merilis tren peningkatan perceraian sejak 2010-2014. 

(Baca Juga: Tren Angka Perceraian Terus Meningkat).

Hal itu, menurut Azyumardi, merupakan kondisi khas di kalangan Muslim Asia Tenggara. Ia mengatakan, tingkat perceraian Muslim Asia Tenggara pernah menduduki posisi tertinggi di dunia yakni 15,1 perceraian dari seribu perkawinan. Angka tersebut, berarti empat kali lebih tinggi dari tingkat perceraian di Amerika Serikat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement