Jumat 09 Aug 2024 19:18 WIB

Cerai Jalan Alternatif Terakhir, Meski Halal Tapi Dibenci Allah

Agama Islam sesungguhnya tidak melarang perceraian.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi Sidang Perceraian
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Sidang Perceraian

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Agama Islam sesungguhnya tidak melarang perceraian, tapi melakukan cerai sangat dibenci oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Nabi Muhammad SAW bahwa talak atau cerai adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT.

أَبْغَضُ الْحَلاَ لِ إِ لَي اللهِ الطَّلاَقِ 

Baca Juga

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Abghdhul halaali ilallahi ath thalaaqu (Sesuatu yang halal tetapi paling Allah benci adalah cerai).” (HR Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah)

Berdasarkan hadits Rasulullah SAW tersebut, dapat dipahami bahwa talak atau cerai adalah jalan alternatif terakhir atau sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh jika rumah tangga tidak lagi dapat dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Maka pada saat-saat seperti itu, agama Islam membolehkan penyelesaian satu-satunya yang terpaksa harus ditempuh.

Peristiwa perceraian di Indonesia cukup banyak terjadi, kebanyakan karena faktor ekonomi. Sebagai contoh kasus perceraian di Kabupaten Indramayu tercatat sangat tinggi. Alasan ekonomi menjadi faktor dominan penyebab perpisahan di antara pasangan suami istri di daerah tersebut. 

Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Indramayu, sepanjang 2023 lalu, tercatat ada 8.869 permohonan perceraian. Dari jumlah itu, sebanyak 7.931 perkara yang diputus atau dikabulkan hakim untuk bercerai.

Humas PA Kabupaten Indramayu, Dindin Syarief Nurwahyudin, menyebutkan, perkara perceraian yang telah diputus tersebut terdiri dari 5.785 perkara cerai gugat dan 2.146 perkara adalah cerai talak. 

"Jadi yang paling banyak mengajukan perceraian itu dari pihak istri," kata Dindin, Jumat (7/6/2024).

Dindin mengatakan, perkara perceraian yang diajukan selama 2023 itu meningkat sedikit dibandingkan pada 2022. Dia menyebutkan, sepanjang 2022, tercatat ada 7.771 perkara perceraian yang diputus.

Dindin menjelaskan, mayoritas alasan perceraian yang disampaikan oleh pemohon adalah karena faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang rendah akhirnya memicu perselisihan di antara suami dan istri hingga berujung perceraian.

"Ekonomi yang rendah juga mendorong salah satu pasangan, terutama istri, untuk bekerja ke luar negeri sebagai pekerja migran Indonesia (PMI)," jelas Dindin.

Dindin menegaskan, meski secara ekonomi bisa menjadi solusi, namun keberangkatan istri ke luar negeri untuk bekerja dalam waktu lama akhirnya mengganggu ketahanan rumah tangga mereka.

Dindin menambahkan, selain faktor ekonomi, penyebab terjadinya perceraian di antaranya juga karena kurang matangnya emosi suami dan istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Salah satu penyebabnya, karena usia mereka masih di bawah umur saat menjalani pernikahan.

"Tahun lalu saya pernah menangani perkara, umur 16 tahun sudah cerai," ujar Dindin.

Dindin menyebutkan, secara keseluruhan, pasangan yang mengajukan perceraian didominasi umur 22 sampai 30 tahun. Banyak yang mengajukan perceraian, yang asalnya dari dispensasi kawin. Salah satu dampak negatif perkawinan di bawah umur adalah timbulnya perceraian,.

Dindin mengungkapkan, pihaknya tidak langsung mengabulkan begitu saja permohonan cerai. Pihaknya mengupayakan untuk mencegah perceraian dengan mengadakan mediasi di antara suami dan istri yang hendak bercerai.

"Dari PA upayakan mediasi. Tapi paling sepuluh persen (pasangan suami istri) yang datang untuk mediasi. Dari jumlah itu, yang berhasil paling dua persen. Tapi ya itulah upaya kami di muara, yang efektif (mencegah perceraian) harusnya upayanya dari hulu," kata Dindin.

Dindin mengatakan, dibutuhkan upaya bersama seluruh pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya perceraian. Termasuk peran tokoh agama, tokoh masyarakat, guru di sekolah, orang tua dan masyarakat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement