REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag) merilis hasil penelitian bertajuk "Tren Cerai Gugat di Kalangan Muslim Indonesia". Penelitian tersebut menunjukkan peningkatan angka perceraian secara keseluruhan dalam periode 2010-2014. Secara lebih rinci, penelitian juga membahas penyebab tingginya angka persentase cerai gugat (gugatan oleh perempuan).
"Ada pergeseran makna perkawinan. (Perkawinan--Red) bukan lagi sesuatu yang sakral," terang Kepala Bidang Litbang Aliran dan Pelayanan Keagamaan Kemenag Kustini, Senin (21/12).
Kustini menjelaskan, melalui data Badan Peradilan Agama (Balidag) Mahkamah Agung (MA), terjadi 382.211 kasus perceraian pada 2014. Angka itu terus mengalami tren peningkatan sejak 2010. Ketika itu, tercatat angka perceraian di Pengadilan Agama (PA) sebanyak 251.208 kasus.
Kustini mengatakan, berdasarkan data Badilag, tidak ada keharmonisan merupakan faktor terbesar penyebab perceraian. Berikutnya diikuti faktor tidak ada tanggung jawab, ekonomi, dan gangguan pihak ketiga. Meski begitu, Kustini mengatakan, faktor-faktor penyebab tersebut turut dipengaruhi oleh pengaruh budaya.
Dari penelitian tersebut, Kustini mengatakan, terdapat sejumlah alasan yang beragam di masing-masing daerah yang mendorong terjadinya perceraian. Ia menyebut, faktor-faktor seperti pergeseran budaya yang semakin terbuka, makna dan nilai perkawinan menghilang karena ada penelantaran dari pihak laki-laki, dan praktik perjodohan.
Terkait tingginya angka cerai gugat, Kustini menyatakan, hal itu muncul karena faktor kompleks. Kustini mencontohkan, kasus istri menggugat cerai suami karena tidak bekerja disimpulkan menjadi faktor ekonomi. Padahal, ujarnya, ada latar belakang faktor suami yang tidak bertanggung jawab. Kemandirian perempuan pun mendorong terjadinya perceraian. "Ini karena cerai menjadi jalan keluar untuk lepas dari beban kehidupan," ujarnya.