REPUBLIKA.CO.ID, Kamis, (24/12) Indonesia akan memeringati Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan semacam ini, belakangan menjadi polemik hangat. Baik kubu pro dan kontra berusaha menyajikan sejumlah dalil yang dikutip dari Alquran, sunah, ataupun berbagai pendapat para sahabat, tabi’in ataupun tabi’tabi’in. Bagi para penentang maulid, muara utama perdebatannya karena ritual tersebut masuk ke dalam kategori bidah, memunculkan hal baru, dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Kini, arah perkembangan polemik hukum maulid justru dirasa kontraproduktif. Polemik yang berkepanjangan itu tampaknya telah mengalihkan perhatian dan kepekaan para ulama terhadap beragam masalah yang pada prinsipnya jauh lebih penting, ataupun bahkan memiliki skala prioritas yang lebih mendesak.
Keprihatinan inilah yang menjadi bahan pertimbangan penting mengapa seorang ulama Hijaz modern, Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani yang wafat pada 29 Oktober 2004. Bagi ulama yang akrab dikenal dengan panggilan Syekh Maliki tersebut, masalah boleh ataupun tidaknya peringatan Maulid Nabi adalah persoalan khilafiyah dan tidak termasuk kategori perkara prinsipil (ushul) dalam agama. Namun demikian, atas desakan dan permintaan dari berbagai koleganya, ia pun lantas tergerak mengarang sebuah risalah yang diberi judul Haula al-Ikhtifal Bidzikra al-Maulid an-Nabawi as-Syarif.
Ulama terkemuka itu menyebutkan sebanyak 21 poin argumentasi yang memperkuat pendapatnya tentang hukum diperbolehkannya maulid. Di antara dalil yang dipaparkan Syeikh pertama adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dalam kitab Shahih-nya. Hadis dari Abu Qatadah itu menegaskan bahwa latar belakang puasa yang dijalani Rasulullah setiap hari Senin adalah ungkapan rasa syukur Rasulullah.
Nabi SAW bersabda, Hari itulah (Senin) saya dilahirkan dan diutus. Mengomentari hadis ini, Syekh mengatakan teks ini bermakna merayakan maulid sekalipun bentuk dan modelnya, seperti berkumpul untuk bershalawat atas Nabi, mendengarkan pujian, dan saling berbagi, tetapi inti dan maksudnya sama, yaitu memperingati maulid.
Argumen kedua yang digunakan Syekh Maliki yaitu anjuran mengungkapkan rasa kebahagiaan terhadap kedatangan Rasulullah seperti yang diajarkan dalam Alquran surah Yunus ayat 58: “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Menurut analisis Syeikh Maliki, Allah menyerukan umat manusia agar bergembira dengan rahmat yang telah diberikan. Dan, kehadiran Rasulullah ke muka bumi adalah rahmat yang terbesar bagi seluruh alam. Karenanya, dalam surah lain dijelaskan bahwa Rasulullah diutus tak lain sebagai rahmat bagi seluruh alam. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiyaa [21] : 107)
Dalam dalil berikutnya, menurut Syekh Maliki, Rasulullah memperingati beberapa peristiwa yang berkaitan dengan agama di masa silam. Salah satunya adalah peringatan hari Asyura’. Sebuah hadis sahih menyebutkan tatkala Rasulullah sampai di Madinah dan melihat kaum Yahudi berpuasa Asyura, Rasulullah bertanya tentang alasan mereka melaksanakan puasa itu.
Setelah memperoleh penjelasan bahwa maksud berpuasa di hari Asyura adalah sebagai tanda syukur karena Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan musuhnya pada hari Asyura, Rasulullah pun mengatakan: Kita lebih berhak atas (mengenang Musa) daripada kalian. Rasulullah lantas berpuasa Asyura dan menganjurkan umatnya turut berpuasa pula.
Kendati demikian, Syekh Maliki juga memberikan catatan-catatan seputar peringatan Maulid Nabi. Perayaan maulid tak jarang berlangsung berlebihan yang justru menghilangkan esensi maulid itu sendiri. Ini yang kerap disalahpahami oleh kalangan yang anti-Maulid. Bentuk perayaan yang dilakukan oleh sejumlah pihak dan dinilai berlebihan itu sering digeneralisasi lalu membuat kesimpulan yang jauh dari objektivitas.
Beberapa poin penting tentang peringatan Maulid Nabi SAW itu, antara lain, pertama, penegasan bahwasanya hukum merayakan maulid diperbolehkan dengan ragam ritual yang sarat dengan nilai, yaitu berkumpul untuk mendengarkan sirah Nabi, pujian-pujian atas keagungannya, memberikan makanan dan berbagi kebahagian kepada sesama umat.
Kedua, sekalipun hukum maulid diperbolehkan, tidak ada ketentuan yang mengharuskan waktu perayaan bersifat temporal terbatas pada satu waktu. Artinya, semestinya peringatan maulid pada dasarnya tidak dilakukan secara terbatas pada tahun, bulan, ataupun hari tertentu saja.
Sebab, menurut Syekh Maliki, keharusan mengenang dan mencintai Rasulullah adalah sepanjang zaman. Maka, di sinilah—jika ditelusuri lebih jauh lagi —adalah satu dari sekian titik kesepakatan Syekh dengan kubu yang kontra terhadap peringatan maulid Nabi.
Dengan demikian, jika ada yang berpendapat peringatan maulid hanya diperuntukkan di satu waktu, tindakan tersebut dikategorikan sebagai bidah. Meskipun memang tidak bisa dinafikan, bulan Rabiul Awal mempunyai daya magnet yang cukup tinggi guna menghadirkan massa. Selain itu, kesan dan nilai yang ditangkap dari perayaan maulid di bulan kelahiran Rasullah tersebut lebih terasa.
Ketiga, menurut Syeikh Maliki, perayaan Maulid Nabi adalah momentum berharga dan kesempatan emas bagi para ulama dan dai, terutama guna mengajak umat kembali meneladani sunah Rasulullah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya mengatasi berbagai persoalan. Maulid bukan tujuan utama, melainkan sekadar media berharga guna menyukseskan misi yang mulia, ujar Syekh.