Sabtu 19 Dec 2015 16:26 WIB
Mengenang Agresi Belanda II, 19 Desember 1948

'Granggang' Kiai Subkhi Parakan

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Bambu runcing.
Para pejuang kemerdekaan tengah berkumpul di stasiun kereta api Kroya tahun 1948.

Semangat perjuangan kaum santri melawan penjajah yang dicirikan melawan tentara Ingris dan Belanda (sekutu) saat  itu memang bergaung dengan hebat. Tak peduli tua, muda, atau anak-anak mereka ingin pergi berperang. Kalau tidak punya senjata api seperti senapan atau pistol, mereka akan membuat bambu runcing. Dan agar lebih percaya diri mereka membawa senjata tradisonal 'granggang' ini ke Kiai Subkhi untuk didoakan.

Maka pada saat itu, jangan heran bila di rumah sederhana para santri yang kebanyakan masih terbuat dari bambu, selalu tersimpan bambu runcing yang telah didoakan Kiai Subkhi itu. Di atap langgar, di bawah genteng, pasti terselip beberapa bilah bambu runcing. Juga di rumah para santtri di antara dinding bilik bambu juga  terselip bambu runcing. Jadi tampaknya kaum santri saat itu sudah merasa harus siap bertempur ketika tentara penjajah datang ke lingkungan atau rumahnya.

Bagi anak-anak, pada saat itu pun banyak yang merengek ingin pergi ke Pesantren Parakan. Tujuannya sama dengan mereka yang dewasa,  yakni meminta doa untuk bambu runcing yang dibuatnya hingga meminta doa kekebalan senjata dan peluru.

Tentu saja keinginan tersebut tak bakal diluluskana oleh para orang tua mereka dengan berbagai alasan. Salah satu argumen yang dipakainya adalah: Yang boleh meminta doa kebal hanyalah orang yang sudah  dewasa (baligh) dan sudah disunat!

“Hanya orang yang sudah sunat saja yang boleh minta doa kekebalan. Yang belum, tentu tidak boleh. Coba kamu pikir apabila kamu benar-benar kebal senjata tajam. Terus nanti bagaimana kamu bisa dipotong ‘kulup’-nya (ujung kemaluan pria). Lha ini kan buat repot tukang sunat saja,’’ begitu alasan para orang tua ketika menolak anaknya pergi ke Parakan untuk minta doa kebal kepada Kiai Subkhi.

Antusiasme anak-anak untuk ikut meminta doa kekebalan saat itu memang masuk akal. Alasannya, selain mereka ingin pergi piknik naik kereta api ke Parakan yang terkenal punya jalur pemandangan indah, alasan lainnya adalah dalam soal ‘transfer' doa kebal dari Kiai Subkhi, saat itu dikabarkan melalui metode atau cara yang sederhana  saja. Hanya berdzikir sebentar, lalu mengucapkan syahadat, shalawat  dan kemudian meminum air putih yang sudah didoakan Kiai Subkhi.

Setelah diberi alasan itu maka anak-anak pun yakin bahwa mereka belum bisa pergi ke Parakan.’’Iya ya..nanti dagingnya alot. Masa kalau sunat harus pakai pisau besar seperti yang dipunyai pedagang daging di pasar,’’ kata anak-anak menyakinkan dirinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement