Jumat 11 Dec 2015 03:52 WIB

Beban Berat Pemimpin

Pemimpin yang mendapat kepercayaan rakyat harus mengedepankan prinsip keadilan.
Foto: Blogspot.com
Pemimpin yang mendapat kepercayaan rakyat harus mengedepankan prinsip keadilan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Baiq Ika Sufriawati Amrus

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik berangkat menunaikan ibadah haji bersama sahabatnya, Umar bin Abdul Aziz. Di sela-sela melaksanakan ibadah haji, Sulaiman mengajak Umar mendaki sebuah bukit.

Dari atas bukit itulah, tampak jelas para jamaah haji yang datang dari segala macam penjuru dunia, dari beragam suku, bahasa, dan warna kulit. Melihat rakyatnya yang sedemikian banyak, sang khalifah terkejut.

Sejurus kemudian, perasaan bangga menyelimuti dirinya. Dia pun berkata kepada Umar yang berada di sampingnya, “Lihatlah wahai Umar betapa banyak rakyat yang kupimpin sekarang!

Mendengar ucapan tersebut, Umar merasa ada hal yang harus diluruskan. Ia lantas berkata, “Ya benar wahai Khalifah, mereka adalah rakyatmu sekarang, namun Anda mesti menyadari wahai saudaraku, mereka kelak akan menjadi musuhmu di hadapan Allah kelak, meminta pertanggungjawabanmu di hari kiamat.

Mendengar perkataan Umar, kaki khalifah bergetar, wajahnya memerah memancarkan rasa takut. Hanya isakan tangis yang terdengar darinya tanpa bisa berkata apa-apa sembari menerawang keadaan di hari kiamat yang sudah pasti akan dihadapinya.

Menjadi pemimpin atau pemuka adalah impian banyak orang. Sejak dulu, manusia memiliki kecenderungan yang ekstra dalam mengejar status sosial tersebut.

Jabatan bagi banyak orang adalah jaminan kepuasan diri dan kemapanan hidup. Terlebih lagi, bila menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan, tentu hal itu sangat menggiurkan.

Dari kisah di atas, setidaknya ada dua hal penting yang dapat kita jadikan sebagai ibrah: Pertama, selektif memilih penasihat. Kearifan dan kebijakan seorang pemimpin sangat ditentukan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.

Kebijakannya akan sejalan dengan prinsip keadilan. Itu dapat terjadi bila kolega atau pembantu terdekatnya adalah orang-orang yang bijak, yang tidak silau dengan segala gemerlap dunia. Bukan pula sekadar mencari muka atasannya.

Pemegang kekuasaan butuh pendamping yang dapat memberi solusi terbaik dalam problem yang ada. Alangkah buruknya bila pemimpin itu dikelilingi pembisik bermental setan, yang hanya bisa meniupkan ide-ide jahat yang menyengsarakan rakyat.

Pembisik jahat enggan memberi nasihat bila atasannya berbuat khilaf, ia malah membiarkan hal itu dan dia mengaku siap pasang badan untuk memberi rasa aman.

Kedua, tidak besar kepala dengan kuantitas pengikut. Untuk menjadi pemimpin dan pemuka, sudah barang pasti membutuhkan rakyat atau pengikut. Sehingga, sebisa mungkin mereka akan melakukan banyak hal untuk memperbesar dan memperbanyak jumlah pengikut tersebut.

Ini agar otoritas dan hegemoni kekuasaannya meluas dan menjauh. Manusia umumnya, bila memegang tampuk pimpinan, menjadi berbangga atas banyaknya pengikut dan luasnya cakupan wilayah.

Namun, jarang sekali yang menerawang lebih jauh ke depan, bahwa urusan kepemimpinan itu bukan urusan duniawi semata, melainkan juga menyangkut urusan ukhrawi.

Pemimpin yang hanya tertipu ilusi jumlah bilangan pengikut, namun lupa akan tugasnya, kelak pengikut-pengikutnya itu adalah musuh nyata yang menuntut pertanggungjawabannya di akhirat.

Pemimpin yang bermental penguasa dengan hanya memperbudak bawahannya, kelak di akhirat akan berlaku sebaliknya. Perkara berat inilah yang harus menjadi perhatian serius bagi setiap pemimpin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement