REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan radikalisme yang bersembunyi di balik jubah agama kian marak terjadi, baik skala nasional maupun global. Aksi kekerasan tidak harus dilawan dengan kekerasan dalam bentuk balas dendam. Pasalnya, balas dendam hanya menyisakan permusuhan yang berkepanjangan.
“DPP Laskar Aswaja menentang aksi teror mengatasnamakan agama, tetapi juga menolak aksi balas dendam dalam bentuk kekerasan,” ujar Ketua Umum DPP Laskar Aswaja Adhi Permana dalam siaran pers yang diterima wartawan, Ahad (29/11).
Radikalisme, menurut Adhi, dapat dicegah dengan cara persuasif dan preventif. Tindakan persuasif dapat dilakukan dalam bentuk dialog dan tindakan preventif dapat berupa edukasi dan sosialisasi secara sistematis dan massif.
“Untuk melawan aksi teror dalam bentuk tindakan kekerasan dan intimidasi tidak harus dengan kekerasan, tetapi bisa dengan edukasi dan sosialisasi. Brigade Aswaja akan melakukan gerakan Islam rahmatan lil a’alamin ke berbagai ponpes, majelis taklim dan lembaga pendidikan lainnya," kata Adhi.
Adhi menilai, aksi teror yang dilancarkan militan ISIS (Islamic state of Iraq and Syria) dan kelompok lainnya yang mengatasnamakan agama, tersebut bertentangan dengan norma agama, tetapi pemahaman atas ajaran agama yang salah. Pemahaman dan pemikiran yang salah itu yang harus diluruskan.
“Pemerintah melalui Kementerian Agama harus serius melakukan pendekatan dialogis dan memberikan porsi yang lebih pada program-program edukasi bekerjasama dengan pondok pesantren, majelis ta’lim dan ormas-ormas keagamaan,” tuturnya.
Untuk itu, pihaknya menggelar Diklatsus Braja I DPP Laskar Aswaja se–DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat bertempat di Ponpes Sunan Kalijaga, Cisoka, Kabupaten Tangerang, Banten pada 27–29 November. Kegiatan tersebut diikuti ratusan peserta tersebut bertujuan untuk membentuk Brigade Ahlussunnah Wal Jamaah (Braja), “Gerakan edukasi ini akan menangkal penyebaran idiologi ISIS dan radikalisme lainnya,” kata Adhi.