REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ulama besar Abu al-Abbas Ahmad bin Hajar al-Haitami menulis kitab yang menegaskan adanya kategorisasi dosa besar dan kecil. Pendapatnya itu menyanggah pendapat sejumlah ulama, di antaranya Abu Ishaq al-Isfarayini, Abu Bakar al-Baqilani, Imam al-Haramain, dan Ibnu al-Qusyairi.
Para ulama itu menyatakan bahwa semua dosa sama besarnya. Tidak ada kata kecil dalam dosa, semuanya adalah dosa besar. Jika misalnya dikatakan ada dosa kecil, sejatinya pengertian kecil yang dimaksud ialah apabila dibandingkan dengan dosa yang lebih besar dari itu.
Pendapat yang sama berlaku pula dalam ideologi Muktazilah. Di antara dasar yang dijadikan sebagai pijakan pendapat kelompok ini adalah ayat berikut: Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu.” (an Nisaa’ [4] : 31)
Dalam pandangan al-Haitami sebagaimana yang disepakati oleh mayoritas ulama, tidak semua dosa itu dianggap sebagai dosa besar, tetapi adakalanya dosa-dosa itu tidak sampai pada batas dosa besar. Artinya, ada sejumlah dosa yang dikategorikan sebagai dosa kecil.
(Baca: Kitab Az-Zawajir ‘An Iqtiraf Al-Kabair)
Sekalipun harus diakui, kata dia, sepatutnya sebagai bentuk ketakwaan terhadap Sang Khalik tidak terdapat rasa mengecilkan sebuah dosa. Tetapi, ia menyatakan bawah pembedaan dosa itu ada dalam syariat, bahkan dikuatkan dengan berbagai dalil Alquran dan hadis.
Di beberapa ayat, Allah membedakan antara kefasikan dan kemaksiatan, misalnya. Pun demikian, Rasulullah secara jelas pernah mengemukakan tujuh atau sembilan perbuatan yang termasuk dosa besar.
Lantas, apa batasan yang membedakan antara dosa besar dan kecil? Menurut al-Haitami, para ulama yang mendukung adanya pembedaan itu berselisih pandang. Kelompok pertama memandang kriteria dosa besar adalah pelanggaran yang mengkibatkan para pelakunya mendapat ancaman pedih, baik yang tertera dalam Alquran maupun sunah.
Bagi kubu kedua, di antaranya terdapat nama Imam al-Baghawi, kriteria dosa besar adalah pelanggaran yang memicu diberlakukannya hukum had. Tetapi, pada dasarnya tak ada pertentangan dari kedua pendapat itu. Yang jelas, menurut al-Mawardi, kriteria tersebut mungkin disatukan dan saling melengkapi satu sama lain; dosa besar tidak hanya menyebabkan ancaman dan siksa pedih di neraka, tetapi menyebabkan pula pemberlakukan sanksi had.
Pada bagian selanjutnya, al-Haitami memaparkan dosa-dosa besar yang berhubungan dengan batin seseorang. Dosa-dosa itu tak kasat mata, tetapi dari kadar dan tingkatan dosanya sangat membahayakan. Bahkan, beberapa di antaranya ditegaskan oleh Allah akan sulit terampuni.
Al-Haitami mencatat terdapat kurang lebih 66 jenis dosa besar yang patut dihindari. Dosa besar yang menduduki peringkat pertama dari ke-66 jenis itu adalah menyekutukan Allah. Menyusul kemudian perbuatan riya, marah yang dipicu kebatilan, kedengkian, dan kebencian, termasuk kategori dosa besar juga adalah sombong dan membangga-banggakan diri. Lalu, sikap menipu, munafik, aksi makar, ketamakan, dan rasa takut akan kefakiran.
Pada bab kedua, al-Haitami menguraikan tentang dosa-dosa besar yang tampak dan bisa dilihat kasat mata. Berbagai dosa besar itu berhubungan langsung dengan hukum-hukum fikih, baik yang menyangkut ibadah ataupun muamalah. Di antaranya ada yang menyangkut masalah thaharah (bersuci), shalat yang meliputi syarat-syarat shalat, shalat Jumat, dan shalat berjamaah.
Lalu, ada juga dosa besar yang terdapat pada tata cara bepergian, pakaian, pengurusan jenazah, zakat, puasa, dan haji. Total keseluruhan jenis dosa besar yang disampaikan oleh al-Haitami dalam kategori ini, yaitu sebanyak 174 jenis. Sebagai contoh, soal thaharah, al-Haitami menyebutkan dosa besar akibat penggunaanbejana berbahan dasar emas ataupun perak yang digunakan untuk makan ataupun minum.
Membuang hajat besar sembarangan di jalan juga dikategorikan ke dalam dosa besar, termasuk pula dosa besar jika meninggalkan salah satu rukun dan syarat yang menentukan sah tidaknya wudhu ataupun mandi junub seseorang. Di bagian terakhir uraian kitabnya, al-Haitami menyertakan beberapa ayat Alquran dan hadis yang secara spesifik mengabarkan karakter surga dan neraka.
Kedua hal itu diperuntukkan sebagai balasan atas segala amal yang telah dikerjakannya semasa hidup. Poin inilah yang hendak dibidik al-Haitami dari seluruh uraian dalam karyanya itu. Hindari segala dosa dan sambutlah rahmat Allah,” tulisnya di penghujung Az-Zawajir.