Senin 16 Nov 2015 11:15 WIB

Mahalnya Isak Tangis Perdamaian Aceh

Peringatan 10 Tahun MoU Helsinki di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, Aceh, Ahad (15/11).

‘’Paling tidak setelah terjadi damai di Aceh, kini kami bisa bebas baca puisi..!’’ Ungkapan sederhana tapi bernada getir ini dikatakan penyair Aceh Fikar Wedha ketika melanjutkan pembicaraan mengenai situsai masyarakat Aceh masa kini. Keadaan memang sudah membaik, masyarakat terbebas dari rasa takut dan konflik. Mereka juga sudah bisa merasakan hidup normal seperti warga di daerah lainnya.

‘’Tapi ya mungkin masih banyak orang Aceh miskin atau hidup tak sejahtera. Ini jelas tantangan bagi para penguasa dan pejabat tinggi di Aceh yang kebanyakan mantan GAM itu. Nah, bila dulu mereka berani pergi ke gunung dan hutan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat Aceh, nah sekarang ketika mereka mendapat amanah jabatan itu ya segera wujudkan cita-cita yang dulu sering mereka katakan. Kekuasaan sudah ditangan. Fasilitas negara pun sudah mereka genggam. Nah, saya harap segera penuhi janji itu. Dan jangan malah bikin ‘perang’ baru lagi,’’ kata Fikar.

Memang di zaman kolonial di Aceh tertanam semangat jihad yang dikobarkan Teuku Chik Pante Kulu, melalui karyanya: Hikayat Prang Sabi. Di dalam syair yang ditulis Chik Pante Kulu semasa perjalanan pulang dari Makkah ke Aceh untuk menunaikan ibadah haji, diamanatkan mengenai semangat jihad melawan penjajah yang balasannya adalah surga Allah SWT.

Ditanya mengenai posisi Hikayat Prang Sabi di dalam benak orang Aceg pada saat sekarang, Fikar mengatakan semangat 'jihad' yang ada di dalam hikayat tersebut harus direkontektualisasi. Sebab, kolonial Belanda yang 'kafir' itu  sudah tidak ada lagi. Terlebih pemimpin perlawanan, yakni para anggota GAM, pun kini menduduki berbagai jabatan strategis dalam pemerintahan.

‘’Lebih tepatnya, jihad yang harus dilakukan pada masa kini adalah memakmurkan rakyat agar mampu ke luar dari kesengsaraan, kemiskinan, dan kebodohan. Itulah ‘Prang Sabi’ masa kini. Beranikah mereka yang dulu bertaruh nyawa demi memperjuangkan kemerdekaan dan kesejahteraan rayat Aceh melakukannya dalam konteks pembangunan. Saya yakin, mestinya mereka berani sebab dulu juga berani bertaruh nyawa ketika berjuang di gunung dan hutan,’’ tegas Fikar.

Budiyadari meuriti di dong dji pandang

Di cut abang jak meucang dalam prang sabi

Oh ka judo teungku syahid dalam prang dan seunang

Dji peurap rijang peutamong syuruga tinggi...

(petikakan Hikayat Prang Sabi, karya Teuku Chik Pante Kulu)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement