Senin 16 Nov 2015 11:15 WIB

Mahalnya Isak Tangis Perdamaian Aceh

‘’Kemenangan dalam seribu pertempuran tak ada artinya bila akhirnya kalah dalam peperangan!’’ Jargon ini sangat melekat di benak para ideolog atau penyusun startegi perang. Mereka paham, pertempuran adalah bagian dari peperangan. Jadi kalah dalam pertempuran kadang tak jadi soal, asal akhirnya dapat ke luar sebagai pemenang dalam  peperangan.

Nah, setelah melihat reaksi para ibu penduduk desa ketika melihat acara pemotongan senjata, maka langsung dapat diambil kesimpulan bahwa sangat sulit memenankan perang melawan orang Aceh. Bisa saja mereka kalah dalam pertempuran, tapi semakin lama waktu peperangan, maka sulit perang dimenangkan oleh pihak yang menjadi seteru mereka.

‘’Makanya karena sama-sama kuat, antara pemerintah RI dengan GAM kemudian bersepakat damai. Ini lebih baik dari pada berkonflik terus-menerus. Rakyat yang akhirnya menjadi korban. Dan momunten bencana tsunami menyadarkan bahwa perdamaian harus dicapai demi untuk kehidupan rakyat Aceh itu sendiri, ‘’kata penyair asal Aceh, Fikar Wedha.

Bila menengok sejarah, Aceh memang tak bisa ditundukan melalui peperangan. Bahkan di zaman penjajahan pun Belanda pusing tujung keliling menumpas perlawan rakyat Aceh. Pada dekade awal abad 20 boleh saja Jendral Van Heutsz menyatakan telah menundukan Aceh, tapi faktanya kekuasaan Belanda hanya ada di seputaran kota besar, yakni Banda Aceh saja. Di kota kecil dan di wilayah terpencil perlawanan terus menyebar. Jadi jangan heran bila tiba-tiba saja di tengah pasar yang ramai, tiba terjadi insiden penusukan anggota tentara, aparat atau kaki tangan Belanda. Dan jangan heran pula bila pelakunya itu adalah seorang wanita.

Suasana itulah yang terus lestari hingga bencana tsunami datang. Orang Aceh selama waktu itu merasa menjadi korban kesewenangan dari pemerintah pusat.’’Kami ditipu,’’ kata rakyat Aceh saat itu. Kalimat ini meniru ucapan tokoh Aceh Daud Beuereueh ketika di kemudian hari mengomentari kembali ucapan Presiden Sukarno di tahun 1948 yang diselingi isakan tangis dan cucuran air mata.

‘’Wallah Billah (Demi Allah) kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendri sesuai dengan ajaran syariat Islam,’’ begitu janji Sukarno kepada Daud Beureueh. Di awal tahun 1960-an janji inilah kemudian ditagih, kembali. Dan karena tak kunjung ditepati, maka  pada titik inilah muncul kembali perang Aceh babak pasca kemerdekaan.

Janji yang hampir serupa juga dikatakan putri Bung Karno semasa menjabat Presiden. Megawati Sukarnoputri dalam sebuah pidato kenegaraan menyatakan:" Tak akan membiarkan darah dan air mata menetes lagi di bumi Aceh!''

Namun perdamaian baru terwujud di era pemerintahan sesudahnya, yakni di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Atas inisiatif yang keras dari Wakil Presiden Jusuf Kalla peletakan senjata benar-benar bisa terjadi. Dunia mencatat peran Jusuf Kalla ini dengan tinta emas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement