Kamis 12 Nov 2015 06:40 WIB

Den Haag: Mengingat 1965, Melupakan Westerling!

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Raymond Westerling
Foto:
Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.

Sejarawan dan Akitivis Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung mengatakan, terdapat benang merah mengenai keterlibatan Belanda pada peristiwa Pemberontakan PKI 1948 dan 1965. Jadi, alangkah naifnya bila Belanda dalam kedua soal tersebut mengaku tangannya tak berlumuran darah.

 "Kasus Pemberontakan PKI di Madiun 1948 terkait dengan jaringan yang disebut Van der Plas Conection. Tujuan pemberontakan PKI di Madiun jelas untuk memperlemah posisi RI. Ingat peristiwa itu terjadi di dekat jantung ibu kota Indonesia yang saat itu berada di Yogyakarta. Jadi, di situlah ada hubungan atau benang merah antara penyerbuan Belanda ke Yogyakara pada agresi militer Belanda II dan pemberontakan PKI di Madiun. Kedua peristiwa itu saling keterkaitan,’’ kata Batara.

Koneksi itersebut, lanjut Batara, keterlibatan intelejen Belanda terlihat jelas karena petinggi PKI, seperti Amir Syarifudin dan Musso pun sebenarnya telah lama berubungan dengan jaringan gerakan intelejen Belanda (Van der Plass Conection) saat mereka melakukan aksi perlawanan ‘bawah tanah’ pada masa penjajahan Jepang. Patut diingat pula kepulangan Musso dari Soviet ke Indonesia saat itu ternyata tidak langsung, tapi sempat mampir atau singgah dulu di Belanda.

 ’’Nah, pihak intelijen Indonesia kala itu sudah lama tahu dan mencium adanya peran Belanda dalam pemberontakan 1948 itu. Pemilihan wilayah seputaran Madiuan sebagai basis pemberontakan saat itu juga tak sembarangan. Ibaratnya, tindakan PKI seperti hendak mengiris nadi yang ada di pinggiran leher dan kepala Republik yang baru berdiri ,’’ katanya.

Seperti diketahui pemberontaan yang dipimpin Musso itu dilakukan persis menjelang agresi militer Belanda II yang terjadi pada akhir 1948. RI yang wilayahnya tinggal secuil menghadapai situasi 'hidup mati' yang serius. PKI datang menjepit dari arah timur. Sedangkan, Belanda juga menjepit dengan menyerbu ibu kota negara di Yogyakarta dari arah barat, utara serta melakukan penyeranga langsung dengan cara menerjukan pasukan khususnya di sekitar Bandara Maguwo (Bandara Adi Sucipto, saat ini). Belanda menyebut penyerbuannya ke Indonesia sebagai 'operasi burung gagak'.

Lalu, bagaimana peran Belanda dalam peristiwa kudeta PKI 1965? Menjawab pertanyaan Batara mengatakan dalam soal ini salah satu ‘titik simpulnya’ adalah terkait tentang peran penting yang dimainkan seorang rohaniawan yang akrab dikenal sebagai Pater Beek (lengkapnya Josephus Gerardus Beek). Dia adalah pastor Yesuiit (Katolik Roma) yang lahir di Amsterdam, Belanda.

"Pastor orang Belanda ini adalah agen CIA. Dia bagian dari desain besar untuk menggulingkan Sukarno. Dan, dia juga ‘bermain’ bersama dinas Rahasia Inggris MI6. Harap diketahui keterlibatan Pater Beek pada soal Indonesia, bukan hanya terjadi pada dekade 60-an saja. Pater Beek sudah berada dalam jaringan Van der Plas Conection sejak Januari 1942. Jadi, Belanda dari dulu selalu ikut dalam setiap kekacauan di Indonesia,’’ tegas Bathara Hutagalung.

Menyadari hal itu, Batara menyatakan tak heran bila kemudian sampai sekarang pemerintah Belanda belum secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Kalaupun ada pengakuan dari mereka, sifatnya hanya de facto.

"Maka, imbauan saya, atas soal pengadilan kasus 1965 di Den Haag, bangsa Indonesia harus waspada. Jangan mudah diadu domba dengan isu. Saya sudah lama mengamati kasus ini,’ termasuk soal penyelenggaraan pengadlan HM kasus 1965 di Den Haag itu," katanya.

 

Menyinggung mengenai targetnya dari pengadilan tersebut, Batara mengatakan, sangat jelas hanya untuk memecah bangsa ini. Apalagi, tampak sekali bila pembiayaan penyelenggaraan forum itu di danai asing.

"Jadi sadarlah bahwa dari dulu sampai sekarang selalu saja ada pihak dan negara dan salah satunya Belanda yang tetap menginginkan negara ini terus berada dalam perpecahan dan kekacauan. Tandanya tampak sangat jelas pada kasus pengadilan Den Haag ini. Maka, waspadalah!’’ kata Batara Hutagalung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement