Kamis 12 Nov 2015 06:40 WIB

Den Haag: Mengingat 1965, Melupakan Westerling!

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Raymond Westerling
Foto:
Pasukan Westerling mengumpulkan warga desa di Sulawesi Selatan untuk diintrogasi dan ditembak.

‘’Monumen ini membuat kami sedih,’’ begitu pernyataan tokoh masyarakat Polewali Mandar, Naharudin, ketika menunjukkan ratusan nama yang dipahat dalam monumen pembantaian pasukan Westerling di kampungnya, yakni di Desa Galung Lombok, sekitar delapan kilometer dari Kota Majene, Sulawesi Barat (Sulbar).

 ‘’Di sini terpahat 731 nama. Mereka penduduk desa biasa yang dihabisi pasukan Westerling hanya dalam waktu setengah hari. Ini gara-gara mereka tak mau menunjukkan di mana para pejuang RI bersembunyi. Ribuan penduduk dari berbagai kampung dikumpulkan, diinterogasi, lalu ditembak begitu saja tanpa pengadilan,’’ kata Naharudin yang mantan anggota DPRD Provinsi Sulbar itu.

Dari sekian banyak saksi mata yang tersisa, mereka semua mengatakan, aksi brutal penembakan masal terjadi semenjak posisi matahari naik sepenggalah atau sekitar pukul 08.00 hingga posisi matahari mulai bergeser dari atas kepala, sekitar 12.00 siang.

Sedangkan, proses pengumpulan masa dimulai sebelum Subuh. Saat itu, satu per satu pintu rumah warga kampung digedor anggota pasukan Westerling. Para penghuninya disuruh ke luar dan dipaksa pergi berjalan kaki menuju sebuah lahan terbuka bekas persawahan yang ada di Kampung Galung Lombok. Tak peduli laki atau perempuan, tua atau muda, anak kecil atau orang dewasa, semua harus segera berkumpul di lapangan itu tanpa kecuali.

Tak hanya penduduk desa yang berada di rumah saja yang diciduk, mereka yang tengah berbelanja di pasar desa atau tengah bepergian juga dipaksa berkumpul di tempat itu. ’’Saksi mata mengatakan, kebetulan hari itu hari pasaran. Maka, pasar desa yang di dekat kampung pun ramai dikunjungi orang. Nah, para pengunjung pasar tersebut kemudian digiring ke Galung Lombok. Mereka disuruh berjalan kaki tiga sampai empat kilometer jauhnya,’’ kata Naharudin lagi.

Seorang saksi mata, Fatani, mengatakan, "Saya lolos dari penembakan karena tiba terlambat. Ini karena saya pergi  bersama istri yang tengah hamil,m sehingga tak bisa berjalan cepat. Nah, ketika sampai ke pinggir lapangan Galung Lombok itu orang-orang sudah ditembaki,’’ ujarnya.

Fatani kemudian menceritakan, ketika penembakan usai dari arah tengah lapangan terdengar teriakan dari seorang yang tampaknya menjadi komnadan tentara Belanda.

"Isi teriakan itu adalah ancaman kepada warga bahwa mereja akan datang lagi nanti sore bila tak ada orang yang mengaku di mana para tentara republik berada. Selain itu, dia meminta agar warga yang meninggal segera dimakamkan,’’ kata Fatani yang ketika di wawancara beberapa tahun silam berusia 104 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement