REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG -- Kementerian Agama (Kemenag) menginginkan perlunya konseptualisasi ulang fikih haji (fiqih haji) yang juga sangat mempengaruhi pelaksanaan ibadah haji.
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, upaya ini penting dilakukan supaya masyarakat Indunesia –khususnya para calon jamaah haji—memiliki pemahaman yang sama.
“Supaya kemudian, kalaupun berbeda, setidaknya, kita tahu konteksnya,” ungkap Menag, usai membuka Semiloka Reformasi dan Reinterpretasi Kewajiban Melaksanakan Ibadah Haji bagi Umat Islam, di Semarang, Selasa (3/11) malam.
Lukman juga sepakat pemahaman fikih haji yang kurang dapat menimbulkan persoalan dalam pelaksanaan ibadah haji. Sehingga butuh konseptualisasi ulang agar implementasinya dapat mendorong berbagai upaya perbaikan pelaksanaan ibadah haji.
Ia menyebut dalam amaliah haji, banyak pandangan- padangan dalam pelaksanaan ibadah haji. Pemerintah tak masuk ke dalam ubudiah, tapi dalam hal tertentu harus masuk demi kemaslahatan bersama.
Misalnya, tarwiyah yang akhirnya menjadi kontraversi. Bermalam di Mina sebelum melakukan wukuf di Arafah. Menjelang malam menuju Arafah kembali ke Mina kemudian ke Muzdalifah.
Tarwiyah adalah sunah Rasul, namun dalam sistem penyelenggaraan haji, kegiatan ini tidak difasilitasi. Tapi pemerintah tidak melarang. “Jamaah boleh saja melaksanakan tarwiyah namun harus pula memikirkan dan menerima konsekuensinya,” jelasnya.
Termasuk menyikapi persoalan panjangnya masa tunggu jamaah haji. Dalam hal ini, pemerintah wajib memenuhi hak dengan mencari format kebijakan untuk memprioritaskan yang belum berhaji.