Selasa 20 Oct 2015 19:12 WIB

Hari Santri, Revolusi Mental untuk Siapkan Generasi Berkarakter

Ribuan santri bersama ulama dan pimpinan dayah se-Aceh membentangkan poster dan spanduk menuju kantor Gubernur Aceh usai menggelar zikir di Makam Ulama Besar, Syiah Kuala, Banda Aceh, Kamis (10/9).
Foto: Antara/Ampelsa
Ribuan santri bersama ulama dan pimpinan dayah se-Aceh membentangkan poster dan spanduk menuju kantor Gubernur Aceh usai menggelar zikir di Makam Ulama Besar, Syiah Kuala, Banda Aceh, Kamis (10/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deklarasi Hari Santri Nasional (HSN) dinilai akan menjadi sebuah langkah revolusi mental untuk mempersiapkan generasi yang berkarakter. "Kita patut mengapresiasi keputusan Presiden RI tentang Hari Santri Nasional," ujar Ketua DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesian (LDII), Hidayat Nahwi Rasul, Selasa (20/10). 

Hidayat mengatakan, keputusan tersebut bukan hanya memberi penghargaan dan penghormatan atas peran santri dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.  Dia menilai, denhan deklarasi HSN, negara juga sekaligus memberi harapan tentang pentingnya mengukir masa depan bangsa tidak hanya degan kepintaran. Tapi juga dengan hati dan kecerdasan spiritual. 

Dengan HSN, menurutnya sekaligus mengingatkan betapa konsep pesantren yakni perpaduan antara mondok, belajar agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan dalam suatu wadah diharapkan dapat mereduksi dampak negatif kenakalan remaja dan anak sekolah yang sering terjadi  akibat terdapatnya jarak antara rumah dan sekolah. 

Dia mengatakan, sedikitnya ada tiga hal yang santri dapatkan ketika  mondok di pesantren. Yakni fiqih akan ilmu agama Islam, berkahlakul karimah dan setelah tammat dapat mandiri di masyarakat karena memiliki pengetahuan dan skill yang cukup didapatkan ketika mondok di pesantren.

"Kita patut bergembira karena keputusan presiden ini telah mengarusutamakan pesantren dalam dinamika kehidupan bangsa khususnya mempersiapkan generasi muda yg berkarakter,profesional dan religius," ujarnya. 

Dia menambahkan, keputusan presiden tentang HSN ini juga sekaligus menjadi autokritik agar pengelolaan pesantren dikelola dengan menejemen yang baik dan profesional. Namun dengan harapan tanpa harus tercabut dari akar budaya dan tradisi dimana pesantren itu berada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement