REPUBLIKA.CO.ID,NAYPYIDAW -- Kelompok Muslim Rohingya seperti menunggu kematian mereka di kamp-kamp di kapal-kapal reyot milik pedagang Asia Tenggara. Hal ini semakin mempertegas sikap anti Muslim yang ditumbuhkan di Myanmar.
"Setidaknya kulit hitam di Afrika Selatan bisa meninggalkan Tanah Air mereka untuk bekerja, kita bahkan tidak bisa melakukan itu. Kami terjebak. Kami tidak bisa pergi kemana pun," kata salah seorang sesepuh Rohingya, seperti dilansir Onislam.net, Selasa (20/10).
Manusia Perahu, sebutan untuk warga Rohingya yang kini hanya bisa tinggal berdesakan di kapal-kapal reyot bekas pedagang. Hak-hak kewarganegaraan mereka ditolak sejak amandemen undang-undang kewarganegaraan pada tahun 1982, dan diperlakukan sebagai imigran ilegal di rumah mereka sendiri.
Pemerintah Myanmar serta mayoritas Buddha menolak untuk mengakui istilah Rohingya, menekankan penduduk asli mereka adalah Bengali.
Selama beberapa bulan terakhir, ribuan pengungsi Rohingya melarikan diri dari Myanmar dan Bangladesh untuk menuju Malaysia, Indonesia, dan Thailand, untuk menghindari penahanan dari pemerintah mereka masing-masing.
Diperkirakan, 120.000 pengungsi Myanmar melarikan diri untuk hidup di kamp-kamp sepanjang perbatasan Thailand dengan Myanmar.
Antara tahun 2012 dan 2013, serangan massa umat Buddha telah mengakibatkan ratusan Muslim Rohingya tewas, serta 140.000 orang lebih harus dievakuasi dari rumah mereka.
PBB sendiri mencatat kekerasan telah membuat hampir 29.000 orang mengungsi atau lebih dari 97 persen dari mereka adalah Muslim Rohingya.
Mereka sekarang tinggal di kamp-kamp pengungsian, bergabung dengan 75.000 warga Rohingya yang telah mengungsi pada bulan Juni 2012.