REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencemaran dan perusakan lingkungan di Indonesia kian memprihatinkan. Dari tahun ke tahun tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan semakin meluas. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai kerusakan lingkungan hidup semakin masif dan kompleks baik di pedesaan dan perkotaan.
Semakin memburuknya kondisi lingkungan hidup secara terbuka diyakini dapat mempengaruhi dinamika sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat baik di tingkat komunitas, regional, maupun nasional. Pada akhirnya, krisis lingkungan hidup secara langsung mengancam kenyamanan dan meningkatkan kerentanan kehidupan setiap warga negara.
Lalu bagaimana Islam memandang tindakan mencemari lingkungan? Apa hukumnya mencemari lingkungan? Selama ini, ada kritik yang dilontarkan sebagian pihak bahwa ulama di Tanah Air belum pernah mengeluarkan fatwa tentang hukum mencemari dan merusak lingkungan. Ulama di Tanah Air di nilai sebagian kalangan cenderung menetapkan fatwa yang dinilai kurang penting.
Anggapan itu sangat tak beralasan. Sebab, para ulama Nahdlatul Ulama (NU) telah menetapkan fatwa terkait masalah penyelamatan lingkungan hidup. Dalam Muktamar Ke-29 NU di Cipasung, Tasikmalaya pada 1994, para ulama telah membuat fatwa tentang mencemarkan lingkungan.
Fatwa itu ditetapkan ulama NU berawal dari kebijakan industrialisasi yang ternyata berdampak pada rusaknya lingkungan. Saat ini, masih ada pelaku industri yang masih nakal dengan membuah limbah industri secara langsung tanpa diolah terlebih dahulu. Akibatnya, lingkungan sekitar seperti sungai, tanah dan udara menjadi rusak dan kotor.
Tak hanya industri, limbah domestik yang dibuang secara sembarangan oleh masyarakat pun berdampak pada rusaknya lingkungan. Lalu Bagaimana hukum mencemarkan lingkungan? Ulama NU bersepakat bahwa hukum mencemarkan lingkungan baik udara, air, maupun tanah, apabila menimbulkan kerusakan, maka hukumnya haram.
‘’Tindakan seperti itu juga termasuk perbuatan kriminal (jinayat),’’ begitu bunyi fatwa tersebut. Lalu bagaimana konsep Islam dalam menangani ekses pencemaran lingkungan? Menurut para ulama NU, ada dua solusi untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, apabila ada kerusakan, maka wajib diganti oleh pencemar. Kedua, memberikan hukuman yang menjerakan (terhadap pencemar) yang pelaksanaannya dengan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan tingkatannya.
Ajaran Islam, menurut para ulama NU, melarang umatnya membuat kerusakan di muka bumi. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-A’raf ayat 56, ‘’Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik…’’
Rasulullah SAW juga mengingatkan umatnya agar tak melakukan pencemaran dan kerusakan di muka bumi. Nabi SAW bersabda, ‘’Terlaknat orang yang melakukan kerusakan terhadap sesama Muslim ataupun lainnya.’’ Sikap Rasulullah yang melaknat pelaku kerusakan lingkungan merupakan bukti bahwa Islam cinta kelestarian alam.
Para ulama NU pun menjelaskan adab bagi umat Muslim agar tak mengganggu tetangganya karena pencemaran. ‘’Apabila pemilik rumah membangun dapur api di rumahnya dan asapnya mengganggu tetangganya, maka hal itu tidak boleh,’’ tutur fatwa itu mengutip kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah Abi Ya’la 301.
Bahkan, saat membakar jerami di sawah sekalipun. Seorang Muslim tak boleh sembarangan membakar jerami yang dikhawatirkan akan menjalar ke kebun milik orang lain. Mencemari lingkungan juga bisa diartika sebagai tindakan mengganggu tetangga atau orang lain.
Tindakan itu dalam Islam digolongkan sebagai maksiat badan. Di antara maksiat badan itu adalah durhaka terhadap orangtua, melarikan diri dari medan pertempuran, memutus tali persaudaraan dan menggagung tetangga dengan gangguan yang nyata, salah satunya mencemari lingkungan sekitar.
Rasullah SAW bersabda, ‘’Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah mengganggu tetangganya.’’ Demikianlah, ajaran Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam menyerukan kepada umatnya untuk melindungi dan melestarikan alam dan lingkungan hidup.
Sumber: keputusan Muktamar NU/Pusat Data Republika