REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sebuah sekolah dasar di Prancis baru-baru ini memberikan kebijakan kepada siswa Muslim dan Yahudi untuk mengenakan tanda merah di lehernya ketika makan siang di kantin.
Hal itu tentu memicu kemarahan, mengingat Prancis adalah negara sekuler yang tidak pernah memasukkan urusan agama ke dalam kehidupan publik.
"Ini memuakkan. Itu mengingatkan Anda tentang masa tergelap. Praktik-praktik seperti ini tidak dapat diterima. Tidak ada yang memiliki hak untuk menerapkan ini pada anak-anak," kata anggota dewan lokal, Malika Ounès, menurut Telegraph, Rabu (30/9).
Dilema itu terjadi ketika Sekolah Dasar Piedalloues di Auxerre, Burgundy memberlakukan kebijakan tersebut kepada para siswanya, yang sekitar 1.500 siswanya beragama Islam.
Tanda merah tersebut diberikan kepada siswa yang tidak memakan daging babi, dan tanda kuning diberikan kepada siswa yang tidak memakan daging sapi. Namun, kemudian tanda tersebut ditarik setelah protes dari para orang tua dan pemimpin masyarakat.
Bahkan Christian Sautier, Direktur komunikasi di Kantor Wali Kota, mengatakan hal itu telah diberlakukan staf kantin sekolah tanpa memberi tahu pihak berwenang setempat, yang kemudian segera dicekal oleh mereka. Kebijakan tersebut hanya bertahan sehari. Hal ini tentu akan menimbulkan preseden di kota-kota lain di Prancis.
Sebelumnya, pada Agustus pengadilan memutuskan mendukung Wali Kota Chalon-sur-Saône tentang kebijakannya yang diumumkan pada Maret bahwa siswa tidak lagi dijamin pilihan non-babi saat makan siang untuk sekolah tahun mendatang. Pada bulan Maret, mantan presiden kanan-tengah, Nicolas Sarkozy, mengatakan ia juga menentang pilihan bebas-babi di sekolah.
Padahal, Prancis adalah rumah bagi komunitas Muslim yang berjumlah hampir enam juta jiwa, dan terbesar di Eropa. Muslim Prancis telah lama mengeluhkan pembatasan melakukan praktik-praktik keagamaan.